Riwayat Perang Tondano 1808-1809 dan Refleksinya Bagi Pembangunan Tondano1 Sekarang Ini

Perang Tondano adalah peristiwa heroik yang harus diketahui oleh setiap orang Minahasa, terlebih khusus orang Tondano. Perang itu menunjukkan jiwa kepahlawanan, keksatriaan, dan patriotisme para pejuang dan rakyat Minahasa dalam menghadapi penindasan dan penjajahan orang-orang Belanda.2

Beberapa hal menjadi alasan hadirnya tulisan ini:

1. Merupakan hal yang ironis bagi orang Minahasa, terlebih khusus orang Tondano, jika ia tidak mengetahui tentang peristiwa bersejarah ini;3

2. perlu adanya penjelasan tentang fakta sejarah Perang Tondano 1808-1809 menyangkut pemimpin-pemimpin perang, terutama para teterusan (panglima perang) Korengkeng dan Sarapung;4

3. bahwa nilai-nilai perjuangan dan pengorbanan dari peristiwa bersejarah itu mempunyai nilai yang tak terhingga untuk kita refleksikan bagi pembangunan Minahasa pada umumnya, dan Tondano pada khususnya, pada era (post)modern ini.

Secara garis besar tulisan ini tersusun sebagai berikut. Pertama-tama saya memberi gambaran umum tentang riwayat Perang Tondano yang mencapai klimaksnya pada tahun 1808-1809. Secara singkat saya menuliskan rentetan peristiwa yang bermuara ke sejarah Minawanua5 itu, dimulai dari kedatangan bangsa-bangsa Barat ke Minahasa, kemudian alasan-alasan sampai timbul perang anti-kolonial paling dahsyat di Minahasa itu, dan bagaimana akhir dari perjuangan tersebut. Pada bagian akhir tulisan ini, saya menyajikan sebuah refleksi untuk kita renungkan bersama-sama sebagai Tou Minahasa, terlebih khusus Tou Toudano, yang memegang amanah budaya serta tongkat estafet pembangunan dan pemberdayaan Tou dan Tanah Minahasa yang berjaya.

Bangsa-bangsa Barat mulai datang ke kepulauan Nusantara pada abad ke-16 diawali oleh Portugis6 yang kemudian disusul oleh saingannya Spanyol. Pada tahun 1580 keduanya dipersatukan di bawah pemerintahan raja Spanyol. Dalam suatu persetujuan, pihak Spanyol diberikan hak untuk menempati Minahasa.

Spanyol menjadikan Minahasa sebagai pos logistik untuk kepentingan mereka di Filipina dan Maluku. Mereka telah menguasai Kali yang merupakan sumber beras, lalu mereka juga ingin memperoleh beras dari orang-orang Tondano. Spanyol telah memperhitungkan bahwa akan sangat merugikan jika mereka harus bertentangan dengan Walak Tondano. Mereka menyadari bahwa Walak Tondano sangat keras menentang pengaruh dari luar yang merugikan pihak mereka. Itu sebabnya Spanyol melakukan pendekatan dengan menawarkan persamaan hak dengan Walak Tondano.7

Seiring dengan penguasaan Spanyol terhadap perdagangan di Sulawesi Utara, rakyat Minahasa mulai ditindas dan diperlakukan semena-mena. Tindakan mereka menghina dan mengganggu rakyat, termasuk perlakuan mereka terhadap wanita, telah membangkitkan perlawanan rakyat Minahasa terhadap mereka.8

Pada tahun 1643, seorang serdadu Spanyol menampar Opo’ Lumi, Ukung Tu’a Toumu’ung,9 sampai jatuh karena ia menolak menerima Mainalo, seorang peranakan Spanyol-Tombulu, dijadikan raja di Minahasa.10 Oleh karena perlakuan itu, malam itu juga Lumi mengumumkan perang terhadap orang-orang Spanyol di wilayah Tombulu, serta memberitahukan hal tersebut ke tiga suku lainnya: Tonsea, Tontemboan, dan Tondano. Maka terjadilah pembunuhan dan penangkapan terhadap serdadu-serdadu Spanyol di tanah Minahasa.11 Orang-orang Minahasa yang telah muak dengan tindakan orang-orang Spanyol merasa senang karena mereka berhasil mengenyahkan orang-orang Spanyol yang suka memeras rakyat dan berbuat sesuka hati itu. Akan tetapi, mereka juga menyadari bahwa Spanyol tidak akan dengan mudah merelakan Minahasa.

Tahun 1651 Spanyol kembali muncul di Minahasa untuk mengambil beras di Kali. Kehadiran mereka membuat cemas rakyat Minahasa, sekalipun perasaan itu tak begitu kuat di Tondano. Walak Tondano membangun perkampungan mereka di atas air. Mereka merancangnya untuk melindungi diri dari serangan-serangan dari luar. Selain itu, Spanyol barangkali masih menganggap Tondano sebagai mitra dagang mereka. Yang jelas, tindakan Spanyol membunuh dua tonaas di Tataaran, telah menyakiti hati Walak Tondano.12

Pada waktu itu, Belanda merupakan kekuatan yang terus bersaing dengan Spanyol untuk menanamkan pengaruhnya di wilayah Nusantara. Berpikir bahwa Belanda dapat memberikan bantuan kepada pihak Minahasa, pada tahun 1654, beberapa orang Minahasa berangkat ke Ternate untuk meminta bantuan Belanda.13 Ahirnya pada tahun 1657, Simon Cos, pengganti Gubernur Hustaard, setelah berhasil meyakinkan Gubernur Jenderal di Batavia akan posisi strategis Minahasa untuk kepentingan Belanda, datang ke Minahasa dan mendirikan sebuah benteng di Manado. Pada tahun 1659 Spanyol meninggalkan daerah Sulawesi Utara.

Para pemimpin Minahasa tentu saja berharap Belanda dapat menjadi sekutu dalam hubungan yang saling menguntungkan. Namun nampaklah bahwa Belanda juga tidak jauh berbeda dengan Spanyol, bahkan lebih parah. Rupanya mereka tak hanya ingin menjadi sekutu dan rekan dalam perdagangan tetapi juga penguasa yang semena-mena. Di mana-mana mulai terasa nafsu mereka mencampuri urusan-urusan walak-walak di Minahasa. Sangat disayangkan, ada juga kepala-kepala walak yang memang telah menggantungkan hidup mereka sebagai kaki-tangan Kompeni dengan menghisap darah kawanua mereka sendiri.

Kesewenang-wenangan Belanda terus mendatangkan penderitaan kepada banyak sekali rakyat Minahasa. Mereka menuntut pemasukan beras sekalipun panen tidak memuaskan. Mereka juga berlaku sesuka hati “hendak memaksakan kehendak mereka kepada suku Tondano yang mencintai kebebasan.”14 Tahun 1661 rakyat Tondano tidak bisa lagi menerima perlakuan tidak pantas itu, lalu menyatakan perang terhadap Belanda.

Orang-orang Belanda dengan dibantu oleh raja Manado datang menyerang orang-orang Tondano.15 Mereka mengultimatum orang-orang Tondano untuk meninggalkan negeri mereka yang dibangun di atas air, dan mengharuskan mereka menyerahkan pemimpin-pemimpin mereka. Namun orang-orang Tondano tetap pada pendiriannya, hal mana menampakan watak dan karakter mereka yang mencintai kebebasan. Konon pasukan Tondano terdiri dari 1400 orang dengan senjata tradisional, sementara Belanda dilengkapi dengan empat buah perahu besar (kora-kora) dengan 65 serdadu. “Walaupun orang-orang Tondano berperang laksana anoa dan kalawatan, mereka harus mengakui keunggulan musuh.”16 Senjata-senjata mereka terpaksa diserahkan kepada Belanda, dan benteng mereka dirombak. Rumah-rumah mereka di atas air kemudian dibakar.17 Orang-orang Belanda menganggap bahwa Walak Tondano sudah benar-benar ditaklukkan.

Tahun 1677-1679 merupakan masa penaklukkan di Sulawesi Utara oleh Gubernur Maluku, Robertus Padtbrugge, dan Sultan Ternate.18 Pada waktu inilah orang-orang Belanda mengadakan penandatanganan kontrak dengan kerajaan-kerajaan di Nusa Utara, Gorontalo, Limboto, dan republik Minahasa.19 Kontrak antara V.O.C dan Minahasa ditandatangani pada tahun 1679. Minahasa secara arbitrary diwakili oleh kepala-kepala walak (ukung): Pa’at, Supit, dan Pedro Ranty, sedang V.O.C diwakili oleh Padtbrugge.20 Isi perjanjian itu adalah:21

Minahasa berjanji :

1. mengakui V.O.C. sebagai tuannya untuk selama-lamanya.

2. akan membantu V.O.C.

3. akan memelihara Benteng Amsterdam di Manado dengan cuma-cuma.

4. akan membuat dan memelihara jembatan-jembatan dan pematang-pematang yang berguna bagi pemerintah V.O.C

5. akan berusaha mengadakan sebuah rumah kompeni yang luas serta gudang penyimpanan pakaian dan beras.

6. akan menyerahkan padi, yang setengah ditumbuk menjadi beras yang berkualitas.

V.O.C. berjanji :

1. melindungi semua kepala-kepala walak.

2. membebaskan Minahasa dari pajak.

3. tidak menuntut alat-alat kayu untuk diekspor,

4. kontrak ini berlaku juga untuk suku-suku Bantik, Tonsawang, Ponosakan dan Ratahan.

Lepas dari penafsiran perwakilan Minahasa yang menanda-tangani kotrak itu, ternyatalah bahwa kotrak perjanjian ini tidak disetujui oleh rakyat banyak, terutama mereka yang diperas habis-habisan untuk menyediakan padi dan beras untuk keperluan V.O.C. yang kebanyakan adalah kaum tani di pegunungan.22 Memang pemasukan beras dari orang-orang Tondano, termasuk Remboken dan Kakas Langowan sering kali tidak menuruti keinginan Kompeni dan petugas-petugasnya. Mereka tetap tidak bersimpati dengan Kompeni, sehingga mereka menjadi sasaran politik pecah belah dan sindiran sinis dari para penulis Belanda.23

Sampai tahun 1790, oleh hasil musyawarah rakyat, Pangalila, kepalawalak Tondano Toulimambot, menghentikan perdagangan beras dengan kompeni. Hal ini dikarenakan oleh panen yang kurang baik dan rakyat Tondano sendiri kekurangan makanan.24 Hal ini tentu saja dilihat sebagai pembangkangan oleh pihak V.O.C., dan di Tondano rakyat juga sudah mulai bersiap-siap dengan segala kemungkinan.

Pemimpin Belanda di Manado mulanya berpikir keras bagaimana mengatasi masalah ini. Akhirnya mereka meminta Pangalila datang ke benteng Belanda di Manado. Dengan beberapa alasan tipuan, Pangalila akhirnya bersedia datang ke Nieuw Amsterdam menemui Resident Schierstein. Di benteng itu ia ditangkap. Utusan yang lain yang ditugaskan untuk menyertai rombongan Pangalila segera memberitahukan kepada rakyat Tondano tentang apa yang telah terjadi. Amarah rakyat Tondano meluap-luap karena pemimpin yang mereka cintai itu telah diambil dari tengah-tengah mereka dengan licik.25

Sumondak, yang merupakan sahabat dari Pangalila,26 bersama rakyat Tondano mulai menyusun rencana untuk membalaskan dendam Pangalila. Utusan-utusan dikirim ke walak-walak lainnya dengan pesan untuk bersama-sama menghancurkan Belanda. Langowan, Tompaso, dan Kawangkoan telah menetapkan hati mereka untuk berperang melawan Belanda. Persiapan-persiapan perang sudah sedang diadakan, namun sayang rencana itu bocor oleh karena pengkhianatan dari dalam. Belandapun memainkan taktik liciknya sehingga perang tidak jadi dikobarkan. Orang-orang Tondano dan rakyat Minahasa pada umumnya memendam sakit hati mereka.27

Pada tahun 1793, George Frederik Durr ditunjuk sebagai Residen di Manado menggantikan Schierstein. Masa tugasnya merupakan mimpi buruk bagi kebanyakan rakyat Minahasa. Ia dikatakan “bajingan, perampok, buas, dan terlalu mata duitan.”28 Sekalipun masa tugasnya selesai pada 1802, keburukan pemerintahannya terus dirasakan sampai tahun 1825.29 Ia melukai hati orang Minahasa tak hanya dengan kelakuannya, tetapi juga dengan mengangkat Urbanus Matheos menjadi juru bahasa dan bahkan digelari “Bapa orang Minahasa,” pada hal ia sangat tidak disukai oleh kepala-kepala walak lainnya oleh karena kejahatan dan kelicikannya.30 Ia juga dianggap bertanggung-jawab atas penyergapan Pangalila di benteng Belanda di Manado.31

Bertumpuk-tumpuk penderitaan rakyat Minahasa oleh karena perlakukan orang-orang Belanda dan para ukung yang telah menjual diri dan rakyatnya. Rakyat Minahasa nyata-nyata mereka perlakukan dengan tidak berperikemanusiaan. Untuk mendapatkan beras dengan harga murah, rakyat dijejali dengan kain-kain atau bahan pakaian yang nantinya bisa dibayar dengan beras. Ketika panen menghadapi kegagalan oleh berbagai-bagai sebab, orang-orang Belanda dengan kejamnya menuntut pembayaran itu. Hal ini semakin menambah dendam rakyat Minahasa terhadap Belanda.32

Suasana di Minahasa sudah semakin memanas. Durr sendiri sudah menyadari bahwa sikap rakyat Minahasa semakin antipatik terhadap Belanda. Terlebih setelah ia ketahuan secara rahasia menyuruh membakar kampung Atep dan Kapataran di Pantai Timur Tondano. Tidak berhenti di situ saja, setelah melakukan pembakaran, para pesuruh Durr itu juga melakukan perampasan dan menculik beberapa wanita yang dibawa lari ke Kema. Hal ini tidak hanya dikecam Walak Tondano, tetapi juga walak-walak lainnya di Minahasa.33

Puncak dari segala kewenang-wenangan ini adalah ketika Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels memaksakan dua ribu pemuda Minahasa untuk menjadi tentara Belanda guna mempertahankan kedudukan Belanda di pulau Jawa dari serangan Inggris. Seluruh walak-walak di Minahasa menolak memberikan pemudanya menjadi tentara Belanda, terlebih lagi walak Tondano. Hal ini tentunya memancing reaksi keras dari pihak penjajah, terutama dari Residen Prediger, pengganti Durr. Namun kali ini, rakyat Minahasa tidak bisa lagi menerima perlakuan Belanda. Musyawarah para pemimpin Minahasa yang dilaksanakan pada tanggal 2 Juni 1808 di tempat kediaman Matulandi di Tondano Touliang menghasilkan kesepakatan: tidak lagi memasok beras secara sukarela kepada kompeni, tidak mau lagi membiayai armada kora-kora karena perompakan masih terus berlangsung, menolak melaksanakan pemeliharaan benteng Belanda di Manado, menolak para pemuda Minahasa menjadi serdadu Belanda, dan menyatakan bahwa jika Belanda hendak memaksakan kehendak, Minahasa akan mengangkat senjata melawan Kompeni.34 Kesepakatan ini ditetapkan dalam sebuah upacara foso dengan mengangkat sumpah. Pada waktu itu, ukung Lontoh (Tomohon-Sarongsong) memegang sagu-sagu (sejenis tombak), Mamait (Remboken) menghunus parang, dan Matulandi (Tondano-Touliang) mengangkat lelutam (senapan).35

Setelah beberapa pertemuan lainnya terjadi, kembali di Pinawetengan diadakanlah suatu musyawarah besar di mana perwakilan-perwakilan dari Kakas, Sonder, Tompaso, Langouwan, Pasan, Ratahan, Ponosakan, Tounsawang, Kakaskasen, Toumbulu, Sarongsong Rumoong, Hon, Tombasian dan Tondano berkumpul. Oleh sebab Belanda telah memperalat beberapa pemimpin Tonsea, walak ini tidak mengirimkan wakilnya secara terang-terangan, sekalipun beberapa utusan dari Likupang, Talawaan, dan Kema datang secara sembunyi-sembunyi. Remboken sendiri yang sepenuhnya mendukung rencana itu tidak dapat mengirimkan wakilnya karena masalah internal antara pemimpin walak yang sedang terjadi.36

Setelah musyawarah itu, Tondano menjadi ramai dengan orang-orang yang datang dari berbagai penjuru Minahasa dengan membawa berbagai bahan keperluan perbentengan. Mereka menggali parit dan membangun benteng dengan balok-balok besar serta kancingan-kancingan bambu yang sulit dilewati.37 Dua benteng di Tondano disebut Benteng Pa’pal, yaitu dari arah Danau Tondano, dan yang lain di sebelah Barat perkampungan Walak Tondano, disebut Moraya. Kepalawalak Korengkeng dan kepalawalak Sarapung ditunjuk sebagai panglima perang, dibantu oleh Tewu, Matulandi, Sumondak, Item, Walintukan, Komimbin, Rumapar, dll.38

Prediger berusaha melakukan pendekatan-pendekatan kepada rakyat Minahasa, baik secara persuasif maupun represif. Namun, pihak Minahasa telah menetapkan tekad untuk memerangi orang-orang Belanda yang tidak tahu diri itu. Akhirnya pada tanggal 14 Januari 1807, Prediger bergerak untuk menyerang benteng Minahasa di Tondano. Sebagai pemimpin pasukan Kapitein Hartingh dan dibantu oleh Wenderstijd, komandan pasukan Belanda di Tanahwangko. Datanglah sejumlah besar serdadu, yang diantaranya juga adalah orang-orang Minahasa yang ditugaskan oleh beberapa pemimpin Minahasa yang telah ditipu oleh orang-orang Belanda untuk berpihak kepada mereka.39

Pengatur siasat perang pihak Minahasa juga tidak mau kalah strategi. Situasi itu dimanfaatkan untuk memasukkan ke dalam pasukan musuh mata-mata yang juga berfungsi untuk mencuri perbekalan dan amunisi. Itulah sebabnya juga kepada seluruh waraney-waraney Minahasa yang sedang bergerak dalam pasukan musuh diberikan kode. Ketika pasukan di benteng Tondano hendak melancarkan tembakan-tembakan gencar ke arah pasukan musuh, mereka memberi isyarat, “Rumungku’ se Maesa!”40

Perlawanan Minahasa yang mencerminkan ke-Minaesa-an (persatuan) itu sangat sulit dihadapi oleh Belanda. Sehingga mereka mulai berpikir bagaimana cara untuk memecah belah persatuan itu. Mereka mulai membujuk atau mengancam walak-walak lain supaya menarik dukungan mereka terhadap Tondano.41 Ukung Lontoh dari Saroinsong yang terkenal berwatak keras dan pemberani menolak bekerja sama dengan Belanda. Lontoh adalah seorang pemimpin yang punya integritas tinggi. Ia menolak mengingkari sumpah perang dan bersama-sama Walak Tondano menghadapi Belanda sampai akhir.42

Belanda juga mendekati Walak Tondano, dengan harapan mereka akan menyerah. Juni 1808, Prediger mengutus Wenderstijd untuk menemui Korengkeng dan Sarapung, panglima perang Walak Tondano, tetapi mereka dicegah para waraney di Masarang yang secara tegas menyampaikan penolakan mereka terhadap kehadiran rombongan tersebut. Melihat upaya pendekatannya gagal, seiring dengan meredanya perjuangan-perjuangan anti Belanda di Ternate, maka panaslah hati Prediger untuk mendatangkan pasukan dari Ternate untuk melindas pasukan Minahasa. Datanglah sejumlah besar pasukan dari Ternate lengkap dengan peralatan perangnya.

Hal ini disikapi dengan serius oleh Minahasa, segera diadakan musyawarah tentang bagaimana menghadapi perang dahsyat yang sudah berada di depan mata. Pertemuan kembali diadakan di Pinawetengan. Beberapa hal menjadi perhatian khusus dalam pertemuan itu. Beberapa walak, terutama yang jauh dari Tondano atau berada dekat dengan perbentengan Belanda, menyampaikan kesulitan mereka dan mengusulkan jikalau mungkin peperangan dihentikan sementara untuk mengumpulkan bahan makanan dan mesiu. Walak Tondano tidak melihat itu sebagai pilihan dan mendesak supaya walak-walak lainnya tetap menjunjung tinggi sumpah perang yang telah diikrarkan bersama. Karena tidak dapat dicapai kesepakatan yang menyeluruh, maka ditetapkan bahwa:43

1) walak Tondano akan tetap melanjutkan perlawanan apapun resikonya,

2) walak-walak yang sudah tidak sanggup untuk meneruskan peperangan, supaya dapat memberi bantuan dalam pengadaan bahan makanan dan mesiu,

3) dan jikalau ada walak-walak yang tidak sanggup lagi untuk mendukung perang ini, supaya jangan sampai bekerja sama dengan Belanda.

Hanya dalam hitungan beberapa bulan setelah pertemuan itu, tiga belas walak menyampaikan keinginannya untuk bergabung dengan Prediger.44 Ia tentu saja menyambutnya dengan gembira, tanpa memperhitungkan bahwa ada di antara mereka masih tetap berada di pihak Tondano.

Penyerangan besar-besaran pun dipersiapkan. Prediger menganggap bahwa dalam sekejap mata perlawanan Minahasa di Tondano akan segera ditumpas. Namun perkiraan itu meleset jauh. Berbagai upaya untuk menembus pertahanan Tondano tidak berhasil. Korban berjatuhan di kedua belah pihak. Prediger tidak memperhitungkan bahwa laskar Tondano lebih menguasai medan rawa-rawa yang penuh dengan jebakan-jebakan alam itu. Belum lagi “hantu-hantu danau” yang menyiutkan hati serdadu-serdadu Belanda. Hantu-hantu danau itu sebenarnya adalah perisai yang dibuat dari pohon sagu dalam bentuk manusia, dibungkus dengan lumut dan tanaman air. Pada malam hari perisai ini dibiarkan mengambang di permukaan air, dan ketika sampai pada jarak tembak diangkat bersamaan dengan teriakan perang. Strategi itu membuat jumlah dan moral serdadu Belanda merosot.45 Akhirnya, dalam suatu penyerangan yang kesekian kalinya – masih dengan hasil yang sama – Prediger sendiri terluka kepalanya dihantam mesiu pihak Tondano. Ia kemudian digantikan oleh Jacob Herder, yang juga harus mengakui keunggulan pihak Tondano dalam strategi dan perlengkapan perang. Dalam laporannya ia menggambarkan bahwa “semangat tempur pasukan perlawanan sangat tinggi dan mereka memiliki persenjataan yang tidak kalah baiknya.”46

Pada akhir bulan Juli 1809, Marinus Balfour menjadi residen di Manado. Bersamanya tiba beratus-ratus serdadu bangsa Belanda dan pasukan Ternate di bawah pimpinan Lodewijk Weintre yang berambisi segera mematahkan perlawanan Minahasa di Tondano. Tanpa membuang-buang waktu, ia menyiapkan pasukannya untuk menyerang benteng pertahanan Tondano. Beratus-ratus perahu, rakit, dan sejumlah kora-kora penuh dengan serdadu-serdadu bersenjata lengkap mengepung pertahanan Minahasa. Walak Tondano bersama-sama dengan walak-walak lain yang tetap setia berpegang pada sumpah sudah melihat dan membaca situasi yang mereka hadapi, namun mereka tak tak tak merasa gentar sedikitpun. Satu-satunya yang menjadi kekuatiran mereka adalah bahan makanan yang sudah semakin menipis, karena jalur perbekalan telah dihadang oleh pasukan Belanda. Dalam situasi itu, semangat juang para pahlawan Minahasa masih tetap sama! Korengkeng dan Sarapung terus mengobarkan semangat pasukan Minahasa dan rakyat Tondano.

Pada subuh tanggal 4 Agustus 1809 pasukan Weintre mulai menyerang pertahanan pihak Tondano. Serangan yang tak pernah terjadi sebelumnya “didahului dengan gempuran-gempuran meriam yang berdentum-dentum dan bergema-gema tidak berkeputusan melanda serentak seluruh wilayah pertahanan dan perkampungan walak Tondano.”47 Suara bising dan menakutkan itu tak dapat membendung seruan heroik “I ayat un santi!”48 Balasan tembakan dari pihak Tondano serta deru langkah serdadu-serdadu Minahasa yang juga terdapat sejumlah wanita49 menyambut gelombang serangan yang seperti tak putus-putusnya dari pihak musuh. Tak jarang terdengar, “Rumungku’ se Maesa!” Peperangan di danau dan rawa-rawa berlangsung seru dan memiriskan hati. (Danau Tondano menyambut darah putera-puteri Minahasa dan juga para pembunuh dan penganiaya mereka, semoga kelak warnanya menjadi bening perdamaian.) Kegigihan waraney-waraney pihak Tondano Minahasa berhasil mempertahankan benteng dan wilayah pertahanan mereka. Sesekali serangan berani mati dilancarkan ke wilayah pertahanan musuh secara sporadis, membuat pasukan Weintre terkejut dan menderita kerugian.

Weintre yang telah terobsesi untuk melihat kehancuran pihak Tondano menjadi semakin agresif. Pada malam hari ia merencanakan serangan ke dua titik pertahan pihak Tondano, yaitu benteng Pa’pal dan Moraya. Pertempuran dahsyat tak terhindarkan. Dengan membawa panas hati dan kebencian yang berkobar-kobar Weintre masuk ke dalam pertahanan pihak Tondano.

Pekik suara perang yang bersaing dengan dentuman meriam dan senjata api itu kemudian berangsur-angsur menghilang bersama hembusan nafas terakhir para pahlawan Minahasa; menjauh dalam langkah mereka yang memasuki hutan-hutan belantara. Yang tertinggal di sana adalah suara tangisan anak-anak dan ratapan ibu-ibu, tatapan mata tua yang basah oleh air mata, keretak suara api memakan rumah-rumah dan tempat penyimpanan padi. Ketika pagi tiba tempat itu telah menjadi sunyi. Hanya asap yang menceritakan betapa dahsyat perjuangan itu serta harga yang telah dibayarkan.

Ketika matahari terbit seperti tanpa rasa bersalah, benteng-benteng pertahanan Tondano sudah hancur, perkampungan telah menjadi abu, dan air Danau dan sungai-sungai di Tondano sejenak menjadi merah. Semuanya itu menjadi tinta bagi materai keberanian dan semangat pantang menyerah rakyat Tondano, rakyat Minahasa, yang telah berjuang demi kebanggaan dan cita-cita mereka untuk hidup terhormat di tanah kelahirannya, tanah nenek moyang mereka.

Bagi Walak Tondano itu bukan semata-mata kekalahan, itu adalah kekalahan yang menunjukkan dirinya yang sejati dan harapannya bagi persatuan Minahasa yang sejati. Akan tetapi, bagi Weintre itu adalah kemenangannya. Dalam laporannya, ia menulis:50

5-7 Agustus 1809…Temanku Balfour, Tondano telah mengalami nasibnya yang naas pada tengah malam. Seluruh Tondano telah menjadi lautan api. Aku harapkan tidak ada sisa lagi dari Tondano ini. Mereka yang tidak sempat menyingkir itu terdiri dari orang tua yang sakit, wanita dan anak-anak. Mereka yang selamat dari amukan api, dihabiskan nyawanya oleh anggota-anggota pasukanku….yang penuh dengki dan haus darah, ingin membalas kematian rekan-rekannya yang tewas dalam pertempuran sebelumnya karena muntahan peluru orang-orang Tondano.

Saat menulis laporan ini, Tondano sudah menjadi tumpukan debu dan sama sekali hancur. Sehari setelah kemenangan kami, aku memerintahkan distrik-distrik (pakasaan-pakasaan) lain di Minahasa untuk membawa masing-masing 200 orang agar dapat membantu menghancurkan apa yang masih tersisa dan belum ditelan api, seperti kanon-kanon, tiang-tiang palisade yang terpancang di sekeliling kubu pertahanan mereka. Segala sesuatu, termasuk pepohonan, waruga-waruga aku suruh hancurkan agar kelak tidak akan kelihatan bekas bahwa ditempat ini pernah ada pemukiman orang-orang Tondano.

Alasanku melibatkan pakasaan-pakasaan dalam penghancuran sisa-sisa perkampungan orang Tondano ini, adalah untuk memperingatkan mereka di Minahasa akan nasib yang akan mereka alami bila berani menentang kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Senjata-senjata yang dapat disita masih kurang banyak. Dan aku duga orang-orang Tondano telah menengelamkannya di danau. Selanjutnya aku akan mengejar pemimpin-pemimpin mereka yang sempat mengundurkan diri ke hutan-hutan di sekitar Kapataran….”

Tanggal 9 Agustus 1809 ia meneruskan laporan tersebut kepada atasannya Gezaghebber de Moluccas Rudolf Coop a Groen di Ternate: “ … Orang-orang Tondano yang congkak dan angkuh itu akhirnya dapat kita taklukkan.”51 Bagi Weintre, keinginan untuk tidak dijajah dan dieksploitasi adalah suatu tindakan yang congkak dan angkuh. Memang pihak Tondano telah dikalahkan, namun dapatkan seorang dengan senjata apapun mengalahkan keinginan untuk bebas dan merdeka?

Waraney-waraney Minahasa yang masih bertahan terus melakukan perang gerilya di hutan-hutan. Panglima perang Korengkeng bersama-sama Waworambitan (Rambitan), Lintang, Tampomalu, Pangau, Manueke bersama yang lainnya bergerilya di sekitar Pegunungan Lembean sampai pantai Timur Minahasa. Kelompok Matulandi dan Sumondak berangkat ke Kakas. Sementar Sarapung, Tewu, Item, Lontoh serta rekan-rekan mereka terus melakukan perlawanan di daerah sebelah Barat kota Tondano yang sekarang.52

Beberapa waktu kemudian Tewu dan Lontoh tertangkap dan dibuang ke Ternate. Item dan Sarapung dikabarkan meninggal di sekitar Tondano karena sakit. Korengkeng dikatakan mempimpin perang gerilya yang paling lama di hutan-hutan, sampai mereka dijuluki tou en talun (orang yang tinggal di hutan).53

Setelah Perang Tondano 1808-1809, orang-orang Tondano tersebar ke berbagai penjuru di Minahasa. Tahun 1810 ketika keadaan mulai mereda Hendrik Jacob Supit diberikan tugas oleh Residen Balfour untuk mengumpulkan rakyat Tondano yang mengungsi dan yang bergerilya. Akan tetapi, sebagian besar rakyat Tondano menolak untuk mengikuti ajakan Belanda itu. Pada tahun 1812, terdengarlah kabar bahwa Inggris telah mengambil alih kekuasaan Belanda di Minahasa. Untuk mengambil hati rakyat Tondano, pemerintah Inggris membawa pulang Tewu dan Lontoh dari Ternate ke Minahasa, serta membebaskan sejumlah besar tahanan di Tikala.54 Rakyat Tondano pun bersedia untuk kembali.

 

 

 

(Cerita Rakyat) Sejarah Langowan

Seperti biasanya terbentuknya suatu perkampungan penduduk (tumani) berawal dari pemukiman di suatu tempat yang awalnya hanya sebagai tempat untuk berkebun/bertani. Dan biasanya tempat perkebunan itu dinilai memiliki tanah yang subur untuk bisa bercocok tanam. Dan bagi mereka yang memiliki keterampilan sebagai nelayan, akan mencari tempat peristirahatan yang baik di kala mencari
ikan. Dan syarat lainnya, yaitu tempat tersebut tidak jauh dari sumber air (mata air atau kolam). Karena biasanya manusia senantiasa membutuhkan air untuk minum, memasak atau mencuci.

Dari penelitian sejarah desa serta cerita turun temurun yang dapat dipercaya, dan juga bukti­-bukti sejarah lainnya (seperti pekuburan tua) maka masuknya penduduk pertama di wilayah Langowan adalah bermula dari tempat yang bernama Palamba, Temboan, dan Rumbia. Ketiga tempat ini semuanya sudah menjadi desa yang definitif.

Sebelumnya terbentuknya tempat-tempat pemukiman tersebut, dalam sejarah Minahasa kita mengetahui ada pertemuan orang-orang Minahasa yang dilakukan di Pinawetengan. Kejadian itu terjadi sekitar tahun 1428, dimana tahun ini dijadikan tahun Hari Jadi Minahasa. Setelah peristiwa pembagian (Pinawetengan) ini, maka sesuai dengan kesepakatan bersama, banyak orang Minahasa mulai kembali ke tempatnya masing­masing dan ada pula yang mencari tempat baru, sebagai tempat Demikian halnya dengan orang­-orang yang berkeinginan untuk hidup di wilayah Langowan, seperti yang dikemukakan tadi. Mereka mulai mendiami Palamba, Temboan dan Rumbia.

1. PALAMBA
Kira-kira abad ke XVI, pengikut-pengikut dari Toar Lumimuut mengadakan perjalanan mengelilingi tanah Minahasa. Mereka kemudian beristirahat di Palamba yang waktu itu masih hutan rimba, dimana tempat ini menurut anggapan mereka cukup baik dan menyenangkan. Untuk tempat beristirahat mereka mendirikan gubuk dari batang pohon kayu dan daun-daunan yang menurut bahasa Tountemboan “palapa”. Konon dari kata inilah pemukiman tersebut dinamakan Palapa yang kemudian berubah menjadi Palamba sampai sekarang ini.

Lama kelamaan untuk memenuhi bekal makanan, mereka mulai membuka perkebunan/huma di tempat itu. Terutama mereka menanam pisang, umbi-umbian dan sayuran. Sehingga lama-­kelamaan perkebunan itu makin luas dan orang-orang yang bermukim di stiu makin bertambah.
Dengan semakin bertambah penduduknya, maka sebagaimana tradisi orang Minahasa dalam suatu perhimpunan penduduk yang sudah cukup banyak, diperlukan seorang pemimpin. Dan oleh karena itu pada sekitar tahun 1600 sampai pada tahun-tahun berikutnya pemukiman tersebut telah dipimpin oleh para Tonaas dan Walak yang sayang sekali nama-namanya tidak diketahui lagi. Sehingga dapat dipastikan bahwa desa Palamba merupakan desa tertua di Langowan. Ini juga dapat dibuktikan dengan adanya waruga (kuburan tua/prasasti) Toar Lumimuut yang ada di sana, dan merupakan tempat pertama orang-orang yang masuk dan menetap di Langowan.

2.TEMBOAN
Berdasarkan sejarah desa Temboan, penduduk yang pertama masuk ke Temboan adalah bangsa Portugis, yaitu pada abad XVII atau sekitar tahun 1690. Konon menurut cerita, dengan tidak sengaja mereka mengambil kayu hitam yang ada di sekitar sungai Ranowangko kemudian dimuat di kapal laut. Oleh karena muatannya sudah penuh, maka kapalnya kandas dan memerlukan beberapa hari untuk keluar dari lokasi.

Pada saat itulah ada seorang di antara mereka yang bernama Luly mencari bantuan, terutama bahan makanan yang makin menipis dan berjalanlah ia menuju utara, dengan tidak melewati Palamba atau Atep. Karena waktu itu ia belum mengetahui kalau ada pemukiman di dekat lokasi tersebut. Dan sampailah ia di negeri Tompaso, dan dari sana ia mengajak orang bernama Kelung, sekaligus untuk membantu mengeluarkan kapal mereka yang kandas. Tetapi setibanya di sungai Ranowangko, kapal tersebut sudah tidak ada, atau sudah berangkat. Maka merekapun mencari tempat perteduhan/peristirahatan di sekitar lokasi tersebut. Mereka menamakan tempat itu Talawatu karena tempat itu hanya tumbuh pohon kayu hitam yang besar dan keras. Kemudian mulailah mereka membuat gubuk dari pohon kayu dan daun-daunan. dan membuka lahan perkebunan untuk ditanami t:unaman pangan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Setelah mereka merasakan lokasi pemukiman cukup baik, maka mereka mengajak saudara dan kenalan mereka untuk bermukim di tempat ini, sehingga lama kelamaan orang-orang makin bertambah, sehingga pada tahun 1829 jadilah sebuah perkampungan Talawatu yang dipimpin oleh seorang Kepala kampung bernama Tonaas Tumataw (lihat catatan harian RC. Massie tahun 1965, tahun 1922­1946 mantan Kepala Desa Amongena). Namun saat itu perkampungan ini dilanda penyakit kolera dan malaria, sehingga pada tahun 1896 penduduk di tempat ini berpindah ke lokasi baru di dataran tinggi, yaitu di lokasi yang ada sekarang (desa Temboan). Temboan berarti berada di ketinggian, atau dalam bahasa Tountemboan matembo yang berarti dari ketinggian.

3. RUMBIA
Pada mulanya sekitar tahun 1825 nelayan-nelayan dari Mongondow, Ternate, Buton, Bugis, Gorontalo dan Sangir mencari ikan Taut di Laut Maluku, sehingga di antara mereka ada yang singgah di pantai Rumbia.

Mulanya nelayan-nelayan ini karena kelelahan mereka beristirahat di tempat ini dan membuat daseng atau gubuk sebagai tempat berteduh. Oleh karena tempat ini terdapat banyak pohon rumbia yang tumbuh di rawa-rawa, maka mereka mengambilnya untuk dijadikan atap daseng/gubuk. Oleh karena pohon rumbia ini banyak manfaatnya,seperti daun dan tangkainya dapat digunakan untuk atap dan isi batangnya bisa dibuat sagu, maka akhirnya tempat peristirahatan itu dinamakan Rumbia.

Lama-kelamaan orang-orang yang dulunya beristirahat di situ, mulai tinggal menetap, dan jumlahnya makin bertambah. Mereka yang juga dulunya tinggal di Palamba dan Atep, sebagiannya mulai menetap di Rumbia, dan akhirnya menjadi perkampungan. Pada tahun 1854 perkampungan ini telah dipimpin oleh seorang Kepala Kampung bernama Albert Mawuntu yang berasal dari negeri Atep, dan ia merupakan Kepala Kampung yang pertama.

PERKAMPUNGAN/NEGERI MULA-MULA
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa masuknya penduduk pertama di Langowan adalah di perkampungan Palamba pada abad XVI atahu tahun 1500­an. Kemudian orang-orang dari Palamba tersebut pada waktu mereka pulang-pergi, diantaranya menghadiri musyawarah di Watu Pinawetengan, mereka singgah dan melihat lokasi Mawale (sekarang sebagian wilayah desa Tounelet) baik untuk perkebunan. Maka pada akhir abad XVII atau tahun 1600-an mereka datang bermukim di sana dan membuka perkebunan baru di tempat itu.

Selain penduduk dari Palamba, konon orang-orang yang setelah mengikuti perang Minahasa-­Mongondow pada tahun 1683 sebagian tidak kembali ke negeri asalnya, tetapi kemudian datang menetap di Mawale. Oleh sebab itu setelah pemukiman Mawale ini penduduknya makin bertambah, maka mulailah mereka mencari lokasi perkebunan yang baru dan pada tahun 1806 mereka mulai membuka pemukiman baru di Walantakan dan Waleure. Negeri Walantakan pada tahun 1806 dipimpin oleh Kepala Kampung Makaware/Wakarewa. sedangkan kampung/negeri Waleure dipimpin oleh Waraney.

Berdasarkan penelitian sejarah, maka didapati bahwa dari pemukiman Mawale inilah yang dominan terdapat penyebaran penduduk, sehingga muncul pemukiman-pemukiman baru lainnya di Langowan. Dari 29 desa di Langowan sekarang ini, sebagian besar (sekitar 24) desa awalnya dari pemukiman Mawale. Sementara empat desa lainnya, yaitu Atep, Palamba, Rumbia dan Temboan sudah lebih dulu berdiri. Mengenai asal-usul Palamba, Rumbia dan Temboan sudah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan Atep terbentuk dari kedatangan orang Palamba yang mulai menetap di sana sejak tahun 1780, yang awalnya juga membuka perkebunan.

Dari gambaran di atas dapatlah disimpulkan bahwa perkampungan negeri mula-mula di Langowan adalah sebagai berikut:

  1. Palamba, pemukiman sekitar abad XVI atau tahun 1500­-an, dan kemudian menjadi kampung/negeri sekitar abad XVII atau tahun 1600-an,mulai dipimpin oleh seorang Tonaas yang belum diketahui jati dirinya.
  2. Temboan, pemukiman tahun 1690. kepala kampung/negeri yang pertama Tonaas Tumataw.
  3. Atep, pemukiman sekitar-tahun 1768 memilih suatu lokasi di dataran rendah dan menjadi kampung/negeri tahun 1780 dengan kepala kampung/Tonaas Reppi.
  4. Walantakan, pemukiman tahun 1806, kepala kampung/negeri Makarewa. Dibuktikan dengan adanya waruga (kuburan tua) yang ada di Walantakan.
  5. Waleure, pemukiman tahun 1806, kepala kampung/Walak Waraney.

ASAL-USUL NAMA LANGOWAN

Pada umumnya seseorang atau kelompok dalam memberikan nama kepada suatu obyek, apakah itu manusia, tumbuh-tumbuhan, hewan, tempat atau obyek lainnya, biasanya selalu mempunyai arti atau kenangan/kesan tertentu. Pemberian nama tersebut dapat saja berupa kenangan atau kesan masa lalu, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan (kepahitan/penderitaan). Atau juga berkaitan dengan harapan masa yang akan datang, maupun berkaitan dengan komunikasi biogenetics. Pemberian nama ini didasarkan pada aetiologis dan saga. Aetiologis (dalam bahasa Yunani artinya keterangan atau sebab), yang ceritanya tidak hanya menerangkan asal-usul, tetapi juga menerangkan hal lain, sedangkan saga adalah cerita turun temurun yang berisi tentang perjalanan individu/kelompok, dan juga norma-norma yang berlaku terhadap individu/kelompok bersangkutan.

Secara etimologis (sejarah asal-usul kata), Langowan berasal dari kata rangow (bahasa Tountemboan) yang berarti lobang. Rangowan (berlobang) dalam hal ini bukan pada gunung, tanah, atau bench lainnya, tapi maksudnya berlobang pada bagian pokok kayu. Konon kayu yang berlobang itu, terletak di tengah pusat kota seperti sekarang ini, yaitu tepat di Gereja GMIM Sentrum (Jemaat Schwarz) sekarang.

Di Langowan pada masa itu memang banyak ditumbuhi pepohonan dan tanaman lainya. Di antaranya pohon we’tes (pohon beringin). Di batang pohon inilah terdapat lobang tersebut. Dan di pohon ini pulalah menjadi pusat penyembahan orang-orang Langowan kepada dewa-dewa (opo-opo), termasuk juga kepada Amang Kasuruan atau si Apo Wanandangka. Dan karena pohon ini dianggap keramat, maka ditempat ini pula dibuat tempat pasoringan.
Pasoringan berasal dari kata soringan yaitu alat bunyi yang dibuat dari sebilah bambu (wulut), semacam pipa yang diberi 7 lobang. Apabila dihembuskan angin atau ditiup akan mengeluarkan bunyi. Bunyi tersebut analog dengan bunyi burung Wala’. Jadi Pasoringan berarti tempat memanggil/mendengarkan bunyi burung Wala’ oleh para Walian dan Tonaas. Walian adalah para pemimpin agama (Alifur/ agama suku Minahasa). Sedang para Tonaas adalah pemimpin pemerintahan, pertanian, keamanan dan lainnya. Di tempat pasoringan inilah para pemimpin tersebut di atas bertanya dan mendengarkan jawaban, ya atau tidak tentang sesuatu maksud yang ditanyakan. Atau untuk mengetahui apakah yang akan terjadi di hari-hari selanjutnya. Bunyi burung Wala’ ini diartikan/diterjemahkan secara bersama-sama oleh Walian dan para Tonaas.
Pada pohon we’tes yang berlobang ini, selain tempat mendengarkan bunyi burung, juga sebagai tempat pareghesan (tempat membawa persembahan/ sesaji). Dengan pengertian, bahwa di tempat inilah mejadi pusat kegiatan keagamaan dan pemerintahan.

Caranya ialah para Walian bersama umat datang berkumpul untuk memuja para opo dan si Amang Kasuruan, dengan membawa sesajian/persembahan (raghesan). Sedangkan para Tonaas menggunakannya sebagai tempat pertemuan rakyat untuk mendengarkan perintah atau aturan yang harus dilaksanakan. Dan biasanya perintah itu dilakukan melalui palakat/pengumuman: ma umung asi we’tes rangow.

Orang yang bermaksud berkumpul untuk membawa persembahan dan memuja serta mendengarkan perintah, awalnya dari mereka bermukim di Mawale (kini bagian kiri dari Desa Tounelet), yang terletak di bagian selatan pohon tersebut. Jaraknya dari pohon we’tes rangowan itu kira-kira 600 depa.

Ketika para pendatang dari Eropa mulai menginjakkan kakinya di Langowan, merekapun mulai mendengar ucapan kata rangow tersebut. Dan oleh karena orang Eropa kurang mampu menyebut huruf “r” dengan jelas, maka sebutan rangow menjadi langow, dan juga rangowan, menjadi langowan. Lama kelamaan akhirnya tempat itu beserta penduduknya disebut dengan Langowan, sampai pada saat ini.

Namun sumber lain juga mengungkapkan bahwa kata langow berasal dari kata lagow yang artinya anoa. Karena konon di Langowan dulunya banyak binatang khas Sulawesi tersebut.

Pertengahan abad XVIII penduduk makin bertambah, maka terjadilah migrasi dari pemukiman Mawale ke utara dan ke timur, serta ke tempat lainnya. Maka mereka yang ke utara membentuk pemukiman baru, sehingga muncullah kampung Waleure, yang ke kampung Amongena dan Wolaang. Dan yang dari Waleure ada yang ke barat daya, menjadi kampung Koyawas. Zaman dimana penduduk pertama hidup di Langowan selanjutnya berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda.

Kedatangan J.G. Schwarz di Langowan membawa perubahan yang besar, khususnya berkaitan dengan hidup keagamaan orang Langowan, dan orang Minahasa umumnya. Di Langowan khusunya, pusat penyembahan agama Alifuru (raghesan dan tempat bertanya pada burung), diubahnya menjadi pusat pelayanan Kristiani (Nasrani). Di tempat itulah Schwarz mendirikan gereja sebagai tempat peribadatan kepada Tuhan Allah di dalam Yesus Kristus. Tempat peribadatan itu masih berdiri sampai sekarang, yaitu Gereja Sentrum (Jemaat Schwarz) langowan).

SEJARAH PEMERINTAHAN DI LANGOWAN

Sebagaimana telah dituturkan sebelumnya, di Langowan awalnya penduduk bermukim di Palamba, Rumbia, Temboan dan Mawale. Khusus yang mendiami Mawale, kemudian sebagiannya membuka perkebunan baru dengan berpindah tempat, sehingga membentuk pemukiman baru, seperti Waleure, Walantakan, Amongena, Wolaang dan lainnya.

ebelum tahun 1828 sudah ada sekitar 5 tempat pemukiman, yaitu Mawale, Waleure, Walantakan, Palamba dan Talawatu (kemudian menjadi Temboan). Pemukiman­pemukiman itu masing-masing dikepalai oleh seorang Tonaas. Dan kepala-kepala dari para tonaas ini adalah seorang Walak (kepala suku). Para Walak yang disebut-sebut pernah memimpin adalah: Rambijan, Robot, Tumbaijlan dan Tawaijlan.

Tahun 1829 Fiskal Irot diangkat menjadi Major dalam jabatan Kepala Distrik oleh Residen Manado Peternat. la memerintah sebagai Hukum Besar mulai 1829 hingga 1841. Pada saat itu perkampungan baru terus bermunculan, yaitu Amongena, Wolaang, Koyawas, Tounelet dan Atep. Sehingga tercatat ada sembilan kampung. Dan setiap desa dipilih dan diangkat Hukum Tua.
Tahun 1841-1847 A. Tendap Saerang menjadi Hukum Besar, dan Bastian Thomas Sigar diangkat menjadi Hukum Kedua oleh Residen Cambier dan Opzier Tondano Benseijder.

Pada Pebruari 1848 Bastian Thomas Sigar diangkat menjadi Major/Hukum Besar oleh Resident Van Nolpen, sedangkan P. Kumolontang menjadi Hukum Kedua. Tahun 1852 N. Pandeirot juru tulis Wolaang diangkat menjadi juru tulis Distrik oleh Resident Scherjas.

Tahun 1853 P. Kumolontang meninggal, dan digantikan oleh Laurenst A. Sigar. Tahun 1854 bertambah satu kampung, yaitu Rumbia. Jadi sudah ada 10 kampung. Tahun 1861 Conteleur Riedel di Tondano mengangkat N. Pandeirot menjadi Hukum Tua Walantakan, Paulus Saerang Hukum Tua Waleure dan Benyamin Sigar Hukum Tua Amongena.

Januari 1870 L.A Sigar diangkat menjadi Majoor/Hukum Besar oleh Resident Deance, dan Desember 1870 N. Pendeirot diangkat menjadi Hukum Kedua. Bersamaan dengan itu pemukiman di Tumaratas menjadi kampung.
Sejak 1870-1884 ketika L.A Sigar sebagai Hukum Besar, rakyat diperintah menanam kopi. L.A Sigar meninggal 2 Mei 1910 (kuburnya ada di Tompaso).
Pebruari 1884 N. Pandeirot diangkat menjadi Majoor/Hukum Besar oleh Residen Jansen, sedangkan Hukum Kedua tidak lagi diangkat. Pandeirot bertugas hingga 1891. Di waktu pemerintahan N. Pandeirot bertambah satu kampung, yaitu Lowian (1887). Jadi sudah ada 12 kampung/desa.

Selanjutnya N. Pandeirot digantikan oleh Major Nicolaas E. Mogot yang sebelumnya Hukum Kedua Remboken dan Kakas. Sedangkan Hukum Kedua diangkat R. Maringka/W. Warokka oleh Residen/Conteleur Adam. Pada masa N. Mogot memerintah, bertambah beberapa kampung, yaitu Sumarayar (1888), Karondoran (1898), Walewangko (1898), Manembo (1899), Teep dan Paslaten (1900). Sehingga menjadi 19 kampung/desa.

Tahun 1904-1911 Hukum Besar Ever Gradus Mogot dan Hukum Kedua Palengkahu. Bertambah satu desa, Noongan. Sehingga menjadi 19 desa.
1912-1919 Hukum Besar A.W. Ingkiriwang dan Hukum Kedua Sahelangi/J. Loho Sesudah 1919 maka negeri Langowan menjadi onder-distrik. Tahun 1920 bertambah desa Tempang, sehingga Langowan menjadi 20 desa. Mulai 1922 Hukum Tua tidak lagi ditunjuk tapi dipilih.
1923-1926 Wakary menjadi Hukum Kedua.
1926-1930 Masa P. Pandeiroth kedua, bertambah desa Winebetan.
1930-1935 W. Momuat Hukum Kedua.
1935-1937 B.C. Lasut Hukum Kedua.
1937-1940 G.P.A. Wenas Hukum Kedua.
Pada waktu pendudukan Jepang (Perang Dunia II), No’ Mogot diangkat menjadi gunco (Hukum Besar). Bertambah desa Karumenga (1942).
1941-1943 No’Mogot Hukum Besar.
1943-1946 B.Lapian Hukum Besar.
1946-1949 A.R. Warouw Hukum Kedua. Bertambah desa Raringis (1946), desa Taraitak dan Ampreng (1947).
1949-1951 Lumanauw Hukum Kedua. Bertambah desa Kaayuran Atas (1950).
1951-1953 A. Wenas Hukum Kedua.
1953-1954 A. Tambajong Hukum Kedua. Bertambah desa Toraget (1954)
1955 M.H.W. Dotulong Hukum Kedua
1956 A. Kumolontang Hukum Kedua
1957 P.V. Kembuan Hukum Kedua
1957-1958 H.D.N Massie Hukum Kedua.
1958-1959 J.A. MonintjaHukum Kedua
1960-1962 R.C. Assa Hukum Kedua
1962-1966 A.J. Malonda Hukum Kedua
1966-1967 W. Tamengkel, BA Hukum Kedua
1967-1970 N.J. Rumengan Hukum Kedua
1970-1977 H.D.N. Massie Hukum Kedua/Camat
1977-1983 J.F. Lalujan Camat. Desa Amongena dimekarkan menjadi dua (Amongena I dan Amongena II) sesuai SK Gubernur No. 28 tanggal 28 Desember (Amongena II jadi definiti fl. Jumlah desa menjadi 28.
1983-1987 F. Mangundap, BA. Camat
1987-1990 Drs. F.H. Tampi, Camat
1990-1993 Drs. P. Besouw, Camat.
1993-1996 Drs. S.E. Tambajong, Camat
1996-1999 Drs. S.W.Z. Poluan, Camat
1999-2001 Drs. Johan Watti, Camat
2001-2002 Drs P.D. Sumampouw, Camat. Kecamatan Langowan dimekarkan menjadi dua kecamatan pada 5 November 2001 (kecamatan Langowan Timur dan Kecamatan Langowan Barat). Desa Kopiwangker bertambah (2002).
Dengan pemekaran tersebut Langowan Timur memiliki 15 desa, dan Kecamatan Langowan Barat 14 desa.

Ke-15 desa di Langowan Timur adalah Amongena I, Amongena II, Wolaang, Waleure, Tempang, Toraget, Karumenga. Sumarayar, Karondoran, Teep, Atep, Manembo, Palamba, Rumbia dan Temboan. Sedang 14 desa di Kecamatan Langowan Barat adalah Nonongan, raringis, Ampreng Tumaratas, Taraitak, Walantakan, Paslaten, Koyawas, Lowian, Walewangko, Tounelet, Winebetan, Kayuran Atas dan Kopiwangker.

2001-sekarang Drs. P.D. Sumampouw, Camat Langowan Timur
2001-… Drs. Alex Slat, Camat Langowan Barat

LANGOWAN DALAM SEJARAH

Nama Langowan sudah sangat dikenal, baik di Minahasa, Sulawesi Utara, Indonesia, bahkan sampai di luar negeri. Terkenalnya Langowan berkaitan dengan sejarah, baik berkaitan dengan demografi, geografi, agama (penginjilan) maupun hal-hal lain yang terkait dengan budaya, ekonomi, politik dan lain sebagainya.

Terkenalnya Langowan, bahkan sampai di luar negeri, berhubungan dengan hadirnya orang-orang Langowan di berbagai tempat, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Beberapa waktu lalu harian Manado Post memberitakan bahwa orang Minahasa yang berada di Amerika Serikat terbanyak adalah orang-orang yang berasal dari Langowan. Di berbagai tempat di Indonesia dan juga di luar negeri pun orang-orang Langowan selalu membentuk perkumpulan negeri dengan nama Rukun Langowan.

Nama Langowan sebagaimana banyak ditulis berasal dari kata “rangouw”. Kata rangouw ini untuk menunjuk kayu besar berlubang yang dulunya terletak di tengah kota Langowan, yaitu di Gereja Sentrum (Jemaat Schwarz) sekarang. Kayu berlubang itu dalam bahasa Tountemboan disebut dengan rangouw. Dalam penuturan sejarah, oleh karena orang Belanda dan juga orang Eropa lainnya tidak bisa menyebut huruf “r” dengan jelas, maka sebutan rangouw yang terdengar adalah “langouban”. Dan dari kata “langouan” itulah akhirnya menjadi kata Langowan.
Sebelum muncul kata Langowan, ada pula tulisan yang menyebut dengan sebutan Langouban. Hal ini dapat dilihat dari sejarah ketika terjadi perjanjian antara VOC dan bangsa Malesung dalam naskah 10 Januari 1679/10 September 1699.

Legenda Burung Manguni & Opo-Opo

TUGAS DAN PENGERTIAN  BURUNG MANGUNI DAN ‘OPO-OPO’  

Untuk menyelami akan asal usul logo Pemerintah Kabupaten Minahasa yang  menempatkan burung Manguni sebagai figur pokok dan pencantuman motto “I Yayat U Santi” perlulah kita tahu latar belakang pembuatannya dan penciptanya.

Pada tahun 1967, Pemerintah Kabupaten Minahasa  menyelenggarakan  sayembara untuk penciptaan simbol Minahasa,yang diikuti oleh 4 seniman dan oleh Panitia diputuskan bahwa gambar lambang  terbaik adalah hasil karya dari Adolf Kainde, kemudian dalam sidang  DPRD Minahasa ditetapkan sebagai logo Pemerintah Kabupaten Minahasa.

Adolf Kainde, kelahiran Flores 1937, bersekolah di Tomohon. Setelah Permesta sebagai  tenaga harian kemudian disamping mengajar di SMA Aquino sebagai staf redaksi Harian Kompas edisi Sulut dan saat meninggal di Malalayang thn 2000 sebagai Agent Manager Bier Bintang. Adolf Kainde dikaruniai  bakat menggambar dan koreografi, dan untuk konsultasi perencanaan gambar lambang Minahasa, beliau didampingi oleh pamannya Johanis Ngangi, waktu itu sebagai anggota BPH (Badan Pemerintahan Harian) era Bupati Letkol. Sumampouw. Bpk. Johanis Ngangi, kelahiran Tonsea Lama 1912, meninggal 1984 di Tomohon adalah bekas guru Sekolah Rakyat di Tomohon dan pernah sebagai Anggota DPRD Kabupaten Minahasa, beliau juga memiliki bakat melukis dan mengarang lagu-lagu Tombulu antara.lain ‘Opo Wana Natase’ (th.1939).

Adapun dasar pemikiran  kedua beliau tersebut bahwa kata-kata “I Yayat U Santi” dari bahasa Tombulu tua yang arti harafia  ‘acungkan pedang perang’. Dan ini dapat dibuktikan dan disajikan pada tari-tari perang seperti; seruan dalam tari perang cakalele “KAWASARAN’ (Kabasaran) adat Minahasa. Inilah konteks pengertiannya untuk logo Minahasa adalah “Siap berjuang untuk pembangunan Minahasa”.

Siulan Burung-Burung dan Artinya.

Dipilihnya burung Manguni dari antara jenis burung lain didasarkan pada mithos  leluhur  Minahasa bahwa burung Manguni  adalah salah satu ciptaan oleh Roh atau Opo paling atas yang menguasai langit dan bumi. Oleh ‘Opo Empung Wananatas’ tersebut menugaskan kepada burung Manguni (mauni = mengamati) untuk menjaga keselamatan anak-cucu Toar-Lumimuut, berjaga-jaga pada malam hari, tidak boleh tidur dan diberi kemampuan bunyi siul berbeda untuk signal  aman atau bahaya. Penulis banyak tahu mengenai hal ini dari Srikandi Permesta, Len Karamoy (asal Tomohon), sebelum Permesta beliau memimpin sekelompok gerilya pecahan dari PPK (Pasukan Pembela Keadilan) pimpinan Jan Timbuleng.

Burung Manguni yang dinamakan ‘Hoot’ (bahasa Jawa: burung hantu), bentuknya sebesar burung Kakatua, berbuluh hitam keabu-abuan, matanya bulat membelalak menghadap  kedepan,  ada pula jenis burung hantu kecil ‘Tootosik’ dinamakan sesuai bunyi siulannya. Pada saat “bertugas” mereka bertengger membelakangi arah datangnya berita, apa bila pertanda baik siulannya syahdu dan apabila ada bahaya suaranya tergesa-gesa lemah seakan berbisik. Pertanda akan ada kemenangan mutlak bila ‘hoot’nya nyaring mengalun dan dilakukan berturut 3 kali 9 (‘telu makasiou’). Atas dasar pemikiran ini maka Jan Timbuleng (sekampung dengan Penulis, Walian) menamakan pasukan Permestanya ‘Brigade 999’ atau Triple Nine.

Masih ada jenis  burung malam “Ki’ek”yang sambil terbang menyambar rendah dengan suara melengking (satu kali saja) selalu membawa berita ‘awas bahaya sudah dekat’. Ada lagi jenis burung Kookokuk yang belum pernah dilihat karena tempatnya jauh dalam hutan, apabila siulan si “kookokuk” nya mendekat  menandakan bahaya semakin dekat dan bila suara jauh melemah artinya lawan telah menjauh. Pada siang hari ada burung “Menge’ngekek”, sebesar terkukur, buluh coklat, sayap kuning, ekor hitam panjang apabila tetap bertengger dibelukar dengan suara tawa mengejek tanda ‘awas waspada’ dan bila dia terbang rendah memintas didepan dengan suara panjang “nge’ek” berarti sebaiknya berhenti sebentar atau batalkan perjalanan. Kicauan burung ‘Kuoo’ dan ‘Kowkow’  bersahut-sahutan pada pagi hari menandakan suasana gembira dan tenteram, dan yang sekali-sekali diselingi suara ngantuk berat  dari burung ‘Mu’kurz’  yang dijuluki roh penjaga hutan yang kesiangan.

Saya yakin burung-burung tersebut belum melupakan tugas yang diberikan oleh Penciptanya, namun kemajuan teknologi komunikasi moderen dan  peralatan deteksi mutakhir telah meng-ambil alih kewajibannya dan mungkin pula burung-burung tersebut tetap  memberi petanda  akan peristiwa kekerasan dan bencana yang akan terjadi, tapi karena habitatnya sudah tergusur jauh kedalam hutan maka siulan warning-nya sudah tak terjangkau oleh pendengaran kita.

 

OPO – OPO.

Berikut tentang ‘opo-opo’ yang kini pengertiannya telah melenceng jauh  dari arti yang sebenarnya, kini istilah opo-opo dianggap oleh sebagian besar generasi sekarang sebagai suatu perlakuan kerja sama antara roh-roh jahat dengan  setan dari naraka.

Nenek moyang kita meskipun hidup dizaman batu, yang belum tersentuh ajaran agama atau budaya dari luar, tetapi sebagai machluk ciptaan Tuhan, seperti kita keturunannya  juga telah dikaruniakan naluri dan kemampuan berpikir, kalau tidak, mana mungkin me-reka sanggup exist hidup dan berkembang hingga turun-temurun sampai abad 21 ini.

Para leluhur kita  itu yakin bahwa manusia di bumi ini  ada yang membuatnya dan  me-reka tahu pula bahwa manusia terdiri dari tubuh fana dan roh  yang tidak dapat mati, yang belum dipahaminya yaitu ajaran agama tentang adanya surga, naraka dan dosa, sehingga para leluhur kita berkeyakinan, roh orang mati akan tetap bergentayangan didunia. Yang pada masa hidupnya berperilaku baik menjadi roh atau opo yang baik, yang jahat akan tetap jahat. Pemahamannya bahwa ‘Opo Empung Wangko’ yang merajai semua Roh dan Opo telah menciptakan Opo baik dan Opo jahat dan para keturunan Toar-Lumimuut dapat memilih sesuai nurani mau jadi pengikut yang mana.

Seorang Tonaas dengan kemampuan mistiknya dapat berkomunikasi dengan opo-opo tersebut, ia sanggup memanggil roh opo masuk merasuk  pada seorang ‘Pakampetan’

Semua yang hadir melalui Pakampetan dapat berkomunikasi dengan Opo-Opo, yang biasanya mula-mula memperkenalkan diri. Maka dari dialog tersebut kami dapat mengenal akan beberapa opo yang sakti(supra-natural), antara lain ‘Opo Siou Kurur’ karena badannya tinggi besar dan sanggup berjalan sangat cepat dijuluki ‘opo sembilan lutut’, berikut  ‘Opo Don-dokambey’ dari Tonsea ke Watu Pinabetengan  dengan menunggang kuda belang (bata-bata). Dan masyarakat Manado mengenal Opo Lolonglasut, Si Raja Wenang yang dina-makan ‘Tonaas Menandou’ (bahasa Tonsea, ‘menandou’ artinya ditempat jauh). Konon dahulu para leluhur dari Tonsea kalau hendak ke Wenang  dengan  roda sapi atau menung gang kuda, bila ditanya oleh bangsa pendatang (Belanda atau Portugis) apa  nama tempat tujuan perjalanannya, oleh leluhur akan dijawab “menandou” yang diartikan oleh sipenanya bahwa kampung tujuan namanya “Menandou” kemudian disesuaikan dengan dialek orang barat “Menado’.

Sampai sekarang orang Minahasa bila hendak ke Manado akan berkata: ‘mange aki Wenang’ (Tonsea), ‘meros ti Wenang’ (Tombulu), ‘mae ki Wenang’ (Tondano). ‘mongem Wenang’ (Langoan), jadi sebenarnya Wenang adalah nama asli Kota Manado.

Kembali tentang Opo-Opo kita, dari generasi lebih muda antara lain yang dikenal sekitar pelabuhan Manado pada waktu itu  ‘Opo Burik Muda’ si penggemar adu ayam, beliau salah satu anak buah Opo Lolonglasut dan masih banyak lagi Opo-Opo Sakti yang lain.

Dari Opo-Opo  sakti melalui para Tonaas atau Pakampetan dapat diperoleh jimat-jimat berupa batu-batu cincin, jenis akar dll. yang dibungkus kain merah dan  dilingkar pada pangkal lengan, paha  dan pinggang untuk penangkal malapetaka, penyakit, kebal peluru, senjata tajam. Para Tonaas sanggup  juga memanggil roh keluarga kita yang sudah me-ninggal dan si pakampetan yang kesurupan akan berperilaku dan suara yang sama de-ngan yang dipanggil. Namun sekarang  ini, Tonaas dan Pakampetan sudah langkah, yang ada  banyak yang munafik, hanya untuk popularitas atau  maksud lain, mengaku sanggup mengobati semua penyakit luar dalam dan  untuk meyakinkan publik dipakainya Kitab Suci sebagai media agar supaya tidak dituding iblis atau setan. Hal tersebut merusak image mengenai istilah ‘Opo-Opo’. Sekiranya ada ahli bahasa dan budaya Minahasa dapat meluruskan kembali dan merehabilitir arti kata luhur “Opo” pada proporsi sebe-narnya. (catatan : istilah ‘DOTU’ berasal bah.Melayu  bukan bahasa asli Minahasa).

PENGENALAN DASAR MINAHASA DAN SEJARAH MINAHASA

Pengetahuan Geografis

A. Letak Geografis, Astronomis, Administratif
Letak Geografis Tanah Minahasa
Minahasa berada di bagian tenggara benua Asia di sub-benua Asia Tenggara. Di jazirah Asia Tenggara membentang Kepulauan Nusantara dari barat ke timur. Salah satu pulau dari kepulauan Nusantara yang sebagian besar berada di dalam pemerintahan negara Republik Indonesia adalah pulau Sulawesi. Pulau Sulawesi sendiri berbentuk huruf ‘k’ dan Minahasa sendiri terletak di bagian ujung Utara kawasan pulau Sulawesi mengarah ke arah Timur-laut.

Letak Astronomis Tanah Minahasa
Tanah Minahasa ini berada di antara 0º 25’ 1’’ – 1º 51’ 40’’ Lintang Utara dan 124º 18’ 40’’ – 125º 21’ 30’’ Bujur Timur.

Batas Bujur Lintang Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota di Minahasa
Daerah * Lintang Utara * Bujur Timur
Sulawesi Utara 00°15’51” – 05°34’06” 123°07’00” – 127°10’30”
Minahasa 01°01’00” – 01°29’00” 124°34’00” – 125°05’00”
Minahasa Selatan 00°45’30” – 01°22’00” 124°18’00” – 124°54’00”
Minahasa Utara 01°18’30” – 01°53’00” 124°44’00” – 125°11’00”
Minahasa Tenggara 00°50’24” – 01°07’12” 124°33’00” – 124°54’36”
Kota Manado 01°25’43” – 01°38’56” 124°40’55” – 124°55’54”
Kota Bitung 01°23’25” – 01°35’39” 125°01’43” – 125°18’13”
Kota Tomohon 00°15’00” – 00°24’00” 124°44’30” – 125°17’30”
Sumber : Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sulawesi Utara
Catatan : Dihitung menggunakan Peta Rupa Bumi Skala 1 : 50.000
B. Batas dan Luas
Batas-batas Tanah Minahasa
Bagian Utaranya berbatasan laut dengan Laut Sulawesi dengan gugusan Kepulauan Sangihe dan Talaud dengan batas administratif Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, Biaro (Sitaro). Bagian Barat juga berbatasan laut dengan Laut Sulawesi, bagian Timurnya berbatasan laut dengan Laut Maluku. Sedangkan bagian Selatannya berbatasan darat dengan tanah Bolaang-Mongondow dengan batas administratif Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) dan Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim).

Luas Tanah Minahasa
Luas Tanah Minahasa sekitar 5.220 km² atau 4.651,11 km² (di mana Kabupaten Minahasa 1.025,85 km², Kabupaten Minahasa Selatan 1.368,41 km², Kabupaten Minahasa Utara 937,65 km², Kabupaten Minahasa Tenggara 710,7 km², Kota Manado 158 km², Kota Bitung 304 km², Kota Tomohon 146,60 km²). Dengan demikian luas Tanah Minahasa adalah 1/40 luas Pulau Sulawesi. Provinsi Sulawesi Utara sendiri luasnya 15.277,16 km2 dengan panjang garis pantainya adalah 1.837 km. Dibandingkan dengan luas pulau Sulawesi, yang hanya 1/40 besar pulau, ukuran luas Minahasa masih lebih besar dari beberapa negara kecil di dunia. Masih ada 29 negara yang ukuran luasnya lebih kecil dari luas Minahasa, bahkan ada 5 negara yang luasnya lebih kecil dari Kota Manado dan Kota Tomohon.

Perbandingan luas Tanah Minahasa
Perbandingan Luas Daerah Tanah Minahasa dengan Beberapa Negara Kecil dan Negara Penting lainnya:
Negara * Ibukota * Letak * Luas
Vatikan Vatican City Eropa (Roma) 0,4 km²
Monaco Monaco Eropa Selatan 1,8 km²
Nauru Yaren District Samudera Pasifik 22 km²
Tuvalu Funafuti Samudera Pasifik 26 km²
San Marino San Marino Eropa (Italia) 62 km²
Kota LANGOWAN Langowan Indonesia 125 km²
Kota TOMOHON Tomohon Indonesia 146 km²
Kota MANADO Wenang Indonesia 158 km²
Liechtenstein Vaduz Eropa Tengah 158 km²
Maladewa/Maldives Male Samudera Hindia 298 km²
Kota BITUNG Bitung Indonesia 304 km²
Malta Valetta Laut Mediterania 313 km²
Saint Christopher Basseterre Laut Karibia 320 km²
Grenada St. George’s Laut Karibia 344 km²
Kota AMURANG Amurang Indonesia 345 km²
St. Vincent & Grenadies Kingstown Laut Karibia 389 km²
Barbados Bridgetown Laut Karibia 431 km²
Antigua & Barbuda St. John’s Laut Karibia 442 km²
Seychelles Victoria Samudera Hindia 443 km²
Andorra Andorra La Vela Eropa Barat 466 km²
Palau Koror Samudera Pasifik 494 km²
Sao Tome & Principe Sao Tome Samudera Pasifik 564 km²
Singapura Singapore City Asia Tenggara 585 km²
Saint Lucia Castries Laut Karibia 616 km²
Bahrain Manama Teluk Persia 660 km²
Kiribati Tarawa Samudera Pasifik 684 km²
Minahasa Tenggara Ratahan Indonesia 710 km²
Mikronesia Pohnpei Samudera Pasifik 721 km²
Minahasa Utara Airmadidi Indonesia 938 km²
Tonga Nuku’alofa Samudera Pasifik 997 km²
Antillen Wellemstad Laut Karibia 1.020 km²
Kab. Minahasa Tondano Indonesia 1.026 km²
Hongkong SAR Hong Kong Samudera Pasifik 1.066 km²
Minahasa Selatan Amurang Indonesia 1.369 km²
Mauritius/Mauritania Port Louis Samudera Hindia 2.038 km²
Komoro (Kepulauan) Moroni Samudera Hindia 2.274 km²
Luxembourg Luxembourg Eropa Barat 2.590 km²
Samoa Barat Apia Samudera Pasifik 2.934 km²
Tanjung Verde Praia Samudera Atlantik 4.040 km²
Tanah MINAHASA Manado Asia Tenggara 4.786 km²
Cyprus Nikosia Laut Mediterania 5.251 km²
Brunei Darussalam Bandar Seri Begawan Asia Tenggara 5.765 km²
Libanon Beirut Timur Tengah 10.399 km²
Sulawesi Utara Manado Indonesia 13.276 km² (2,8 x)
Timor Leste Dilli Asia Tenggara 14.615 km² (3 x)

Bab II. Pengetahuan Demografis

A. Penduduk

Apa sebab orang Minahasa secara adat & budaya disebut Bangsa Minahasa ?
Karena asal usul anthropologis orang Minahasa sama; yang berdiam dalam satu daerah yang batas-batas geografis jelas; dan yang disatukan oleh satu idealisme sosial, politik, ekonomi, budaya bahasa dan agama yang sama.

B. Jumlah Penduduk
Penduduk Tanah Minahasa pada tahun 2008 berjumlah 1.440.686 jiwa, dengan perincian: Kabupaten Minahasa 298.179 jiwa, Minahasa Selatan 182.292 jiwa, Minahasa Utara 174.455 jiwa, Minahasa Tenggara 95.145 jiwa, Kota Manado 429.149 jiwa, Kota Bitung 178.266 jiwa, dan Kota Tomohon 83.200 jiwa.

Tabel Perbandingan Distribusi dan Kepadatan Penduduk di Minahasa Tahun 2008
Kabupaten/Kota Penduduk Luas Kepadatan
(jiwa) (km²) (per km²)
Kab. Minahasa 298.179 1.025,85 290,67
Kab. Minahasa Selatan 182.292 1.368,41 133,21
Kab. Minahasa Utara 174.455 937,65 186,06
Kab. Minahasa Tenggara 95.145 710,69 133,88
Kota Manado 429.149 157,91 2.717,68
Kota Bitung 178.266 304,00 586,40
Kota Tomohon 83.200 146,60 567,53
Sulawesi Utara 2.208.012 15.273,10 144,57

Sumber : Badan Pusat Statistik Sulut. 2009. Sulawesi Utara Dalam Angka 2009. Manado

C. Suku

Bangsa Minahasa terdiri dari empat sub-etnis (suku/etnis) besar sebagai etnis utama (asli), yaitu Tountemboan, Tombulu, Toulour/Tondano dan Tonsea. Kemudian sub-sub etnis yang berdiam di selatan Minahasa seperti Tonsawang, Ratahan-Pasan (Pasan Wangko) dan Ponosakan sebagai sub-etnis campuran. Terakhir sub-etnis Bantik sebagai suku pendatang dari Sulawesi Tengah. Pada saat ini, etnis Babontehu diterima sebagai sub-etnis Minahasa bersama dengan orang Borgo. Dalam versi orang Tountemboan atau generasi Minahasa sebelumnya menganggap bangsa Minahasa terdiri dari 7 sub etnis, yaitu Tonsea, Tombulu, Toulour, Tonsawang, Pasan-Ratahan-Ponosakan, dan Bantik.

Sub-etnis Tondano atau Toulour, mendiami daerah sekeliling Danau Tondano sampai di pantai Timur Minahasa (Tondano pante) yaitu daerah Tondano, Kombi, Eris, Lembean Timur, Kakas, Remboken. Pakasaan-Toulour terbagi atas dua walak yaitu Tondano-Toulimambot di bagian barat dan Tondano Touliang di bagian barat, serta walak Remboken (campuran orang Tondano dengan orang Tombulu) dan walak Kakas (campuran orang Tondano dengan orang Tountemboan).

Sub-etnis Tonsea, berada di Minahasa bagian Utara yang dahulu sebagai pakasaan Tonsea/Tontewoh dengan satu walak Tonsea, serta Kalawat Atas, Kalawat Wawa (Klabat di Bawah) di Paniki, dan Likupang. Daerah suku ini meliputi daerah Airmadidi, Kauditan, Kema, Bitung, Tatelu, Talawaan, Likupang, Maumbi, Kalawat.

Sub-etnis Tombulu berpusat di Tomohon yang mendiami daerah Kota Tomohon, kecamatan Tombariri, kecamatan Pineleng dan kecamatan Tombulu, kecamatan Wori, dan pusat Kota Manado. Sub-etnis bagian pakasaan Tombulu yang memiliki enam walak, yaitu Tomohon/Tou Muung, Sarongsong, Tombariri, Kakaskasen, Ares, dan Kalawat Wawa’ (Klabat di Bawah) yang kemudian diduduki orang Tonsea.

Sub-etnis Tountemboan berkedudukan di Minahasa bagian Selatan yang mendiami daerah Langowan, Tompaso, Kawangkoan, Sonder, Tareran, Tumpaan, Amurang, dan daerah di sepanjang kuala Ranoyapo yaitu di daerah Motoling, Kumelembuai, Ranoyapo, Tompaso Baru, Modoinding, Tenga dan Sinonsayang. Suku ini berasal dari Pakasaan Tompakewa yang terdiri dari walak Tompaso, Langowan, Tombasian, Rumoong, Tongkimbut bawah (Kawangkoan) dan Tongkimbut atas (Sonder). Dahulu kala Tountemboan sering disebut Tompakewa, atau juga Tongkimbut (karena Walak Tongkimbut merupakan walak terbesar di Tountemboan saat itu).

Sub-etnis Tonsawang atau Toundanouw, berada di daerah administratif kecamatan Tombatu dan Touluaan. Leluhur dari puak ini diperkirakan datang dari pulau kecil Mayu dan Tafure di selat Maluku yang mendarat di Atep (Tondano pante) kemudian beralih ke Tompaso kemudian beralih ke tempat sekarang. Mereka menyebut sub-etnisnya sebagai orang Toundano. Kaum Tonsawang menyebut diri mereka Toundanow, namun lebih dikenal oleh orang Minahasa lain sebagai orang/suku Tonsawang atau Tombatu. Pada mulanya mereka dikenal bangsa Malesung sebagai Tousini. Berdasarkan legenda, asal usul mereka berasal dari dua kelompok: kelompok pertama datang dari barat daerah Tontemboan di Teluk Amurang maupun dari Pontak dan kelompok kedua datang dari tepi utara danau Tondano. Yang berasal dari utara terbagi dua, yaitu dari kampung Luaan yang dipimpin oleh pamatuan Dotu Mamosey dan kedua dari kampung Betelen yang dipimpin oleh pamatuan Dotu Kamboyan.
Sub-etnis Ratahan dan Pasan, berada di sekitar kota Ratahan. Sub-etnis Ratahan atau Pasan-Wangko, atau Pasan-Ratahan. Sub-etnis Ratahan berada di kampung-kampung Ratahan/Tosuraya, Wioi, Wiau, Wongkai, Rasi, Molompar, Wawali, Minanga dan Bentenan, dan sub-etnis Pasan berada di kampung Towuntu, Liwutung, Tolambukan dan Watulinei.

Sub-etnis Ponosakan berada di kecamatan Belang dan kecamatan Ratatotok yaitu di kampung Belang, Basaan, Ratatotok dan Tumbak serta sebagian kampung Watuliney dan Tababo. Suku ini merupakan satu-satunya sub-etnis di Minahasa yang beragama Islam.

Sub-etnis Bantik berada di daerah sekitar Manado, yaitu di barat daya Manado seperti Malalayang dan Kalasei dan di sebelah utara Manado seperti Buha, Bengkol, Talawaan Bantik, Bailang, Molas, Meras, serta Tanamon di kecamatan Sinonsayang Minsel. Suku ini berlainan sekali bahasa, adat kebiasaan dan roman muka dari suku-suku lain di Minahasa. Suku ini berasal dari Sulawesi Tengah, kemudian bermukim di Bolaang Mongondow. Orang Malesung dan Minahasa tempo dulu mengenal serta menyebut mereka sebagai kaum Toumini yang datang dari sekitar Teluk Tomini di Sulawesi Tengah. Kemudian mereka datang di Minahasa sebagai tentara bantuan Bolmong untuk memerangi suku-suku Minahasa. Ketika tentara Bolmong dikalahkan di Maadon, Lilang (Kema) maka suku ini menetap di sekitar teluk Manado. Sampai tahun 1850 mereka diam-diam membayar upeti kepada raja Bolmong. Oleh karena itu zendeling Graafland dahulu menyebut mereka sebagai tentara-budak kerajaan Bolaang Mongondow.

Sub-etnis Babontehu berada di kepulauan sebelah barat laut Minahasa. Dahulu sub-etnis ini berada di bawah satu kerajaan tersendiri bernama Kedatuan/Kerajaan Manado yang berpusat di pulau Manado tua. Orang Babontehu terkenal sebagai pelaut ulung. Kepala mereka disebut kolano (raja). Karena dikalahkan Kerajaan Bolaang Mongondow, mereka terusir dari sana dan serta sejumlah besar berpindah menetap di kepulauan Siau/Sangihe. Hanya sekitar 40 keluarga yang dipindahkan kompeni VOC ke Sindulang sekitar abad XVII.

Ada juga beberapa kelompok kecil yang telah lama berasimilasi dengan orang Minahasa sehingga mereka dianggap sebagai bagian dari Minahasa. Orang Borgo dulunya adalah serdadu sipil masa VOC dan Hindia Belanda, merupakan campuran orang Eropa, Afrika Selatan, Asia dan lain-lain dengan Minahasa. Orang Kampung Jawa Tondano (Jaton) yang menetap di timur laut Tondano merupakan campuran dari bangsa Jawa pengikut Pangeran Diponegoro dan Kyai Modjo yang kawin dengan gadis-gadis Minahasa. Selain itu terbentuk juga Kampung Jawa di Tomohon dan di Pineleng terbentuk pemukiman pengikut Imam Bonjol.

D. Bahasa
Bahasa pergaulan (lingua franca): Bahasa Melayu Manado
Bahasa resmi: Bahasa Indonesia

Bahasa Daerah Minahasa
Bahasa Minahasa adalah bahasa daerah asli Minahasa yang terdiri dari bahasa rumpun induk Minahasa, yaitu bahasa Tontemboan, bahasa Tombulu, bahasa Tonsea, bahasa Toulour/Tondano, serta bahasa dari masing-masing suku tambahan, yaitu bahasa Tonsawang, bahasa Ratahan/Pasan, bahasa Ponosakan, dan bahasa Bantik.

Diagram Kekerabatan Bahasa Daerah Minahasa

proto-Minahasa

Tondano Tonsea Tombulu Tontemboan Tonsawang

E. Sistem Religi/Agama

Tabel Jumlah Penduduk berdasarkan Agama Tahun 2006 (jiwa)
Kab./Kota Kristen Katolik Islam Hindu Budha Jumlah
Manado 249.194 25.040 171.742 6.800 934 514.910
Bitung 108.692 8.573 47.173 252 934 165.624
Tomohon 54.726 25.361 3.477 57 47 83.668
Minahasaa 395.395 215.381 47.443 107 3.472 661.798
Minsel b 252.865 10.393 34.092 – 104 297.454
Jumlah 1.060.872 284.748 303.927 68.416 5.491 1.723.454
Prosentase 61,554% 16,52 % 17,63 % 3,97 % 0,32 % 100,00
a Termasuk Kabupaten Minahasa Utara. b Termasuk Kabupaten Minahasa Tenggara.

Pengetahuan Unsur Sosial-Budaya

A. Flora Khas
Tawaang (Latin: Cordyline terminales Kunth, Dracaena terminales, Calodracon tennie nalis Planah

B. Fauna Khas

Clepuk Sulawesi (Otus manadensis)
Nama Internasional : Sulawesi Scops Owl

Punggok Tutul (Ninox punctulata)
Nama internasional : Specklet Boobook

C. Artefak Kebudayaan
– Watu Pinawetengan (batu menhir)
– Waruga (kubur batu sarkofagus)
– Batu tumotowa/sumanti/panimbe (menhir)
– dll

D. Tarian: Maengket, Cakalele/Kabasaran (Masasau), Jajar, Lenso, dll

E. Alat Musik: Kolintang, Musik Bambu (Seng & Klarinet), Bia, Katentengan, dll

F. Pakaian
Pakaian tradisional Minahasa mulanya terdiri dari baju yang dibuat dari kulit kayu pohon lahendong.

G. Rumah Adat: Wale

H. Lagu Daerah
Lagu yang menjadi lagu kebangsaan (nasional) Minahasa adalah Mars Minahasa, Oh Minahasa, Opo Wana Natas. Lagu-lagu lainnya adalah O Ina Ni Keke, Esa Mokan, Ampuruk, Si Patokaan, dan lain-lain. Lagu-lagu ini sering dinyanyikan pada setiap kesempatan dan acara/kegiatan yang berbau budaya Minahasa.

Mars Minahasa
(Arr: Anonim)
Minahasa di ujung utara Sulawési,itu Tanah Airku …
Tondano, Tomohon, Tonsea, Kawangkoan, Kakas dan Amurang …
Kalabat, Soputan, Lokon, Dua Sudara, gunung di Minahasa …
Pertemuan mata, jangan kita lupa …
Ref: Suatu tanah, yang amat subur, dan lagi tanah yang kaya …
Di sana tempat, ibu dan bapa, sanak saudara dan sekalian teman …
Sako mangémo, an tana’ jao, magémo ma’ilek-ilék lako sayang…
Sako mangémo, an tana’ jao, magémo ma’ilek-ilék lako sayang!

O Minahasa (“Hymne Minahasa”)
(Arr: Anonim)
O … Minahasa kinatoanku
Salarimaé unatéku
Milek ungkawangunanu
Ngaranu kéndis wia Nusantara
Na un cingké, pala wo kopra
Sé ma teles me lelowa
Ref: Dano Toulour; dépo wo numamu
Tembur Lokon wo Soputan mawés umbangumu
O … kinatoanku Minahasa
Sawisa méndo endo léos
Paléosta né matuari

O… Minahasa tempat lahirku
Sungguh bangga rasa hatiku
Memandang keindahanmu …
Namamu masyhur di Nusantara
Karna cengkih, pala dan kopra
Kagumkan pasaran dunia …
Ref: Danau Tondano dan sawah ladangmu
Asap Lokon dan Soputan menghiasi alammu …
O … tempat lahirku Minahasa
Aku rindu setiap masa
Aman damai dan sentosa

Opo Wana Natas
(Arr/Lagu: Johanis Kainde, 1939)
Opo’ Wana Natas é, témboné sé mengalé-ngaléi
Témboné sé mengalé-ngaléi, Pakatuan Pakalawiren
Kuramo kalaléi langit, téntumo kalaléi un tana’
Kuramo kalaléi un tana’, téntumo kalaléi ta in tou
Nikita intou karia é ni mapasu suat u man
Nimapasu suat uman, kana wia si Opo’ Wana Natas.
Si Opo’ Wana Natas é, sia simata’ u am péléng.
Sia simata’ u am péléng, mamuali wiam ba wo in tana’.
(Artinya: Allah Maha Tinggi:
Allah Bapa di Sorga, lihatlah kami yang memohonLihatlah kami yang selalu memohon keselamatan. Sebagaimana umurnya langit, demikian juga umurnya bumi,Sebagaimana umurnya bumi, demikian juga umur kita manusia.Kita sebagai manusia, hai teman, hanya berserah pada TuhanHanya berserah kepada Tuhan di tempat yang tinggi.

Ampuruk
(Arr/Lagu: Frederick W. Ward, Amurang 1954)
Ampuruk ing-kuntung karege-regesan
Maka témbo-témbomei inataran
Ka saleén kaaruyén o kalélon.
Tumémbo mei ingkayobaan
Ca Mei mengaléi é karia é katuari
Sé cita imbaya an doong ta iyasa
Maesa é naté o mamemberenan
eluren ingkayobaan iyasa (2x)
(Artinya: Di puncak gunung setiap saat angin bertiup. Dari atas terlihat terhampar padang yang luas. Mengasyikkan menyenangkan serta merindukan, memandang alam dari atas gunung. Kami mohon wahai teman-teman dan saudara kita semua yang ada di kampung saat ini, Bersatu hari [rukun-rukunlah] dan saling peduli dalam mengatur dunia sekarang ini).

SEJARAH MINAHASA
Pendahuluan

A. Historiografi Minahasa
Historiografi, yaitu ilmu yang mempelajari tentang penulisan/pencatatan sejarah, menjadi sebuah bidang yang banyak digeluti orang Minahasa dewasa ini dalam menggali masa lalunya. Historiografi Minahasa pada umumnya terbagi dua, yaitu masa pra Westernisasi dan masa sesudah kedatangan bangsa Barat di sini. Cerita mengenai asal usul bangsa ini hanya diturunkan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Legenda dan mitos ini kemudian dicatat oleh para pejabat kompeni VOC yang mencari bahan pangan di sini terutama Dr. Robertus Padtbrugge, serta para misionaris (para pater Katolik) Spanyol dan Portugis. Penelusuran historiografi masa kompeni VOC hingga kolonial Belanda dapat ditelusuri lewat dokumen-dokumen serah terima/laporan pertanggungjawaban dan dokumen administrasi lainnya. Pada abad XIX historiografi mulai dicatat secara detil oleh para zendeling/pekabar injil Protestan.
Ada dua karya utama mengenai sejarah Minahasa yang terbit pada masa Belanda: pertama karya dari zendeling sekaligus kepala sekolah Ds. N. Graafland dengan karyanya “De Minahassa, Haar Verleden en haar Tegenwordige Toestand” yang terbit tahun 1867 dan 1898 dalam dua jilid. Kedua, karya dari seorang Landsarchief (Kepala Arsip Nasional Hindia Belanda) Dr. E.C. Godee Molsbergen¸ “Geschiedenis van de Minahassa tot 1829” yang terbit tahun 1928 dalam rangka menyambut 250 Tahun Peringatan Persahabatan Minahasa-Belanda 1679-1929.
Walaupun kini sudah banyak buku sejarah Minahasa, namun belum adanya kesamaan persepsi yang jelas mengenai pengkajian sejarah Minahasa. Penulisan sejarah masa kini harus sesuai dengan semangat nasionalisme Indonesia dengan mengorbankan semangat kedaerahan Minahasa. Jelas histroiografi Minahasa ini harus terbentur birokrasi dan kecurigaan SARA (suku, agama, ras dan antar-golongan) yang dihembuskan “pusat” dalam rangka “kesbang” (kesatuan bangsa) dan melemahkan tindakan pengungkapan adat dan budaya Minahasa. Kecurigaan dan ketidaksukaan ini berkonsep dari anggapan bahwa ”orang Manado antek-antek penjajah Belanda”. Belum lagi faktor ideologi/agama menjadi sumber masalah yang tidak dapat dipisahkan dari hal pertama tadi. Walau ada ketertarikan akan sejarah Minahasa, namun kurangnya kepedulian akan penulisan sejarah Minahasa menjadi faktor penyebab akhir darinya. Masalah baru muncul ketika akan diadakan penulisan kembali sejarah Minahasa, yaitu tidak terstrukturnya historiografi Minahasa dalam hal pembabakan/kronologi sejarah Minahasa itu.

B. Periodisasi Sejarah Minahasa
Sejumlah orang membagi sejarah Minahasa menjadi:
1. Masa pra Malesung ± 2000 SM – 700
2. Masa Malesung 700 – 1450
3. Masa Minaesa 1450 – 1523
4. Masa Minahasa 1523 – sekarang

F.S. Watuseke dalam bukunya Sedjarah Minahasa, sebuah buku yang disusun secara kronologi, membagi kurun waktu Minahasa berdasarkan kontak bangsa Minahasa dengan masing-masing bangsa Eropa, sebagai berikut:
1. Masa Purba
2. Masa Kolonial Bangsa Eropa
a. Masa Orang Portugis dan Intervensi bangsa Spanyol/ Tasikela (1512-1606)
b. Masa Bangsa Tasikela (Spanyol) dan Kedatangan Belanda (1606-1657)
c. Masa Kompeni Belanda (VOC) (1657-1799)
d. Masa Inggris I dan Belanda II (1800-1810)
e. Masa Inggris II (1810-1817)
f. Masa Belanda II (1810-1942)
g. Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)
3. Masa Republik Indonesia
a. Masa Perjuangan Kemerdekaan Indonesia/Masa Belanda III/NICA (1945-1949)

Saya membagi masa sejarah Minahasa ini ke dalam kategori:
1. Masa Malesung (Masa Purba)
a. Masa pra Malesung (sebelum abad VI atau XI)
b. Masa Malesung (Abad VI/XI – XV)
i. Toar-Lumimuut
ii. Makarua Siow (2×9), Makatelu Pitu (2×7) dan Pasiowan Telu
2. Masa Minaesa/Pinaesaan (Abad XV – XVI)
i. Perang Antar Walak
ii. Perang Minahasa – Bolmong
3. Masa Kolonial Bangsa Eropa
a. Masa Orang Portugis (Portugal) dan Intervensi bangsa Spanyol (1512-1606)
b. Masa Bangsa Tasikela (Spanyol) dan Kedatangan Belanda (1606-1657)
c. Masa VOC/Kompeni Belanda (1657-1799)
d. Masa Inggris I dan Belanda II (1800-1810)
e. Masa Perang Minahasa di Tondano (1808-1809)
f. Masa Inggris II (1810-1817)
g. Masa Belanda II (1810-1942)
h. Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)
4. Masa Republik Indonesia
a. Masa Perjuangan Kemerdekaan Indonesia/Masa Belanda III/NICA (1945-1949)
b. Masa Orde Lama (1950-1957, 1961-1966)
c. Masa Pergolakan Permesta (1957-1961)
d. Masa Orde Baru (1966-1998)
e. Masa Orde Reformasi/sekarang (sejak 1998)

Tinjauan Singkat Mengenai Masa Lalu Minahasa Purba (Malesung)
Dalam buku “Masalah Agraria Perobahan-Perobahan dalam Adat Penentuan Pemilikan Tanah” oleh E.J. Jellesma:
Menurut cerita rakyat yang dituturkan secara turun-temurun oleh penduduk Minahasa yang pertama sebenarnya berasal dari satu suku, kalau bukan dari satu daerah, paling kurang yang hidup tidak berjauhan. Mereka menduduki dataran-dataran tinggi Wulur-Mahatus, pegunungan yang sekarang kira-kira merupakan perbatasan antara Minahasa yang sekarang dengan kerajaan Bolaang-Mongondow.
Tanah-tanah Minahasa yang sekarang, dahulu masih merupakan bagian dari Samudera, di mana puncak-puncak Klabat, Lokon dan Soputan serta gunung-gunung lain terlihat sebagai pulau-pulau kecil. Oleh suatu gerakan alam yang tidak diketahui, diperkirakan dasar laut terangkat dan sebagian laut menjadi lahan luas yang subur dengan sejumlah besar gunung, di mana penduduk dari dataran-dataran tinggi tersebut di atas menjadi penghuni tetap.
Pada periode berikutnya pecahlah perang saudara yang luar biasa, yang mengakibatkan perpecahan di antara penduduk yang bersifat sangat bermusuhan, dan terus-menerus hidup dalam peperangan, apalagi kalau mereka melewati perbatasan wilayah mereka masing-masing. Oleh karena itu perpecahan menjadi makin besar dan perasaan bahwa mereka berasal dari satu keturunan yang sama semakin berkurang, sampai mereka akhirnya menganggap diri sebagai suku tersendiri (pakasaän, eeheid).
Setelah beberapa waktu perang berlangsung di antara mereka, terlebih lagi di bawah tekanan Raja-raja Bolaang-Mongondow yang tak henti-hentinya berupaya menguasai tanah itu, mereka memutuskan untuk mengesampingkan dendam lama di antara mereka dan saling membantu satu sama yang lain untuk menggagalkan usaha musuh bersama mereka itu. Sejak saat itu mereka menamakan diri Maesa atau Minaésa (ésa = satu; menjadi satu), yang kemudian dirobah menjadi Minahasa.
Setelah peperangan yang sengit dan berkepanjangan itu orang-orang Bolaang-Mongondow dikalahkan dan mereka terpaksa meninggalkan Minahasa.
Selama peperangan berlangsung muncullah untuk pertama kali orang-orang Spanyol (yang oleh orang Minahasa dulu disebut Tasitjela atau Tasikela = penyim-pangan dari kata Kastilië).

Bermacam-macam usaha orang Spanyol untuk juga bermukim di tanah tinggi, gagal, artinya mereka gagal tinggal di situ untuk waktu yang lama; suku-suku Minahasa di daerah pegunungan berhasil memerangi mereka melalui perang gerilya. Karena ancaman orang Spanyol dan Bolaang-Mongondow maka orang Minahasa minta pertolongan dari orang Belanda yang ketika itu sudah menetap di Ternate. Pertolongan diberikan kepada mereka dan orang Spanyol diusir dari seluruh Minahasa.
Pada tahun 1679 kontrak pertama dengan “Kepala-kepala desa dan seluruh umat dari wilayah Menado” dibuat oleh Gubernur Maluku R. Padtbrugge atas nama Gubernur-Jenderal Rijckloff van Goens. Dalam artikel pertama mereka jelaskan “bahwa mereka hanya menerima dan mengakui VOC yang terhormat itu sebagai satu-satunya penguasa tertinggi, abadi dan sah.”
Setelah orang Bolaang-Mongondow dihalau, suku-suku Minahasa mulai sadar, bahwa lebih baik kalau permusuhan di antara mereka diakhiri dan menentukan sebaik mungkin batas-batas dari pelbagai pakasaan. Sesudah melalui banyak pertengkaran akhirnya terciptalah satu penyelesaian, dan setiap pakasaan mendapatkan wilayah masing-masing, dengan batas-batas yang telah ditentukan. Pertengkaran mulai berkurang; ikatan lama antara pakasaan hidup kembali; mereka mulai memandang diri mereka sebagai satu keturunan. Sementara itu pakasaan-pakasaan yang berbeda-beda itu (kemudian disebut distrik) mempertahankan wilayah mereka masing-masing dengan batas-batas yang sudah ditentukan.

C. Asal Usul Orang Minahasa
Bangsa Minahasa menurut penyelidikan para ahli berasal dari daratan Asia. Dalam tradisi berupa mitos, leluhur bangsa Minahasa berasal dari utara yang datang melalui laut. Jadi bukan merupakan penduduk asli.
Menurut H.M. Taulu, kaum pendatang di Minahasa adalah:
A. Kaum Kuritis, yang berambut keriting.
B. Kaum Lawangirung (Lewengirung), yang berhidung pesek.
C. Kaum Malesung atau Minahasa, yang menurunkan empat kelompok besar yang menjadi sub-etnis: Tonsea, Tombulu, Tontemboan/Tompakewa, Toulour/Tondano.
D. Suku Tonsawang, Pasan Wangko (Pasan-Ratahan).
E. Suku Bantik, yang masuk di tanah Minahasa sekitar tahun 1590 sebagai tentara Mongondow yang memerangi bangsa Malesung.
Menurut legenda, leluhur orang Minahasa berasal dari sepasang suami-istri bernama Toar dan Lumimuut yang dibantu seorang enek tua bernama Karema. Mengenai asal usul mereka ada banya pertentangan. Versi tua mengatakan bahwa Lumimuut berasal dari peluh sebuah batu. Ada lagi versi yang mengatakan bahwa leluhur orang Minahasa berasal dari seberang utara. Apalagi dahulu bila orang meninggal dunia, dipercaya bahwa mereka akan pergi ke arah utara, ke daerah asalnya. Mengenai letak lokasi utara ini juga para ahli bersilang pendapat

MITOS DAN LEGENDA

A. Leluhur Pertama: Toar-Lumimuut
Bangsa atau etnik Minahasa dimulai dari kisah leluhur mereka, yaitu TOAR-LUMIMUUT. Ada yang unik dari kisah ini, karena Toar dikisahkan mengawini ibunya Lumimuut. Selain kedua tokoh utama tersebut, ada juga tokoh lain yang bernama KAREMA yang dipersonifikasikan sebagai walian dan juga seorang nenek yang umurnya lebih tua dari Lumimuut dan berperan sebagai penasehat dan pembimbing dari Toar-Lumimuut.
Pada mulanya, keluarga Toar Lumimuut tinggal di kompleks Pegunungan Wulur Mahatus (di Minahasa bagian selatan), yaitu bukit Watu Nietakan. Di puncak bukit ini terdapat sebuah batu bernama Watu Rerumeran/Lisung Watu. Letak dari batu ini berada di sisi barat daya Tompasobaru. Batu raksasa ini panjangnya sekitar 8 meter, lebar 4 meter dan tinggi 10 meter. Di lereng bagian barat ada ruangan tempat berteduh (gua) bernama Minawatu/Mahwatu Munte Popontolen dengan perabot serba batu. Di batu tersebut ada 19 lobang semacam lesung dengan lobang yang terbesar dalamnya 50 cm dengan diameter 40 cm. Diperkirakan bahwa keturunan Toar-Lumimuut tinggal di sekitar Mahwatu/Batu Nietakan selama empat generasi. Sedangkan Minahasa pada masa itu masih disebut sebagai Malesung.
Tempat kediaman manusia pertama Minahasa menjadi perdebatan sejarawan. Ada pihak menyebut tempat kediaman mereka di daerah yang disebut Tu’ur in Tana’ (pusat tanah, tiang atau batang bumi) atau Watu Niutakan di pegunungan Wulur-Mahatus, berada di Watu Nietakan di puncak Bukit “Rumah Batu” di desa Pinaesaan Kecamatan Tompasobaru. Versi lain menyebut berada di desa Palamba Kecamatan Langowan serta i kawasan Desa Kanonang Kecamatan Kawangkoan. Malah versi lain di desa Kiawa Kecamatan Kawangkoan. Orang Tombulu mempercayai leta Tu’ur in Tana’ berada di Tomohon, yakni di kawasan sebelah barat dataran tinggi di tengah-tengah gunung Lokon, Kasehe dan Tatawiran. Namun, lokasi inipun sering dikaitkan sebagai Kasendukan (Karondoran, Kalahwakan atau Kasohoran), yakni sebutan lain bagi Lokon, yang dalam tradisi-tradisi menjadi lokasi kediaman para opo, anak-anak keturunan Toar-Lumimuut. Didekat lokasi Tu’ur in Tana’ disebut berada Rano Lahendong dan Walehlaki. Budayawan Ibrahim Palit menyebut di tempat yang banyak ditumbuhi pohon mahwatu, sehingga disebut Mahwatu Tu’ur in Tana’, yakni di atas hulu sungai Makalesung (anak sungai Ranowangko).

Kelompok Makarua Siow, Makatelu Pitu, dan Pasiowan Telu
Saat Lumimuut dan Toar menjelang tua dan masyarakat yang menetap di Wulur Maatus sudah demikian banyak, tibalah saatnya untuk menyerahkan tongkat tanggung jawab kepemimpinan kepada anak-anak mereka.
1. Kelompok “se makarua siouw” atau anak mereka yang tertua diserahkan tugas menjadi penghulu di bidang pengaturan masyarakat/pemerintah;
2. Kelompok “se makatelu pitu” diserahkan tugas menjadi penghulu pengaturan keagamaan;
3. Kelompok “se pasiowan telu” adalah terbungsu dan yang terkecil.
uga yang membantu tugas kerja kakak-kakak mereka dari kelompok “makarua siouw” dan “makatelu pitu” maka dibentuk dua kelompok tugas pembantu dari “pasiowan telu” melalui pilihan bunyi burung, yaitu:
a. Kelompok “se makarua lima” yang bertugas sebagai penghulu di bidang pencaharian/pertanian dan hasil bumi.
b. Kelompok “se makarua telu” yang bertugas sebagai penghulu di bidang perburuan.
Sisa kelompok “pasiowan telu” lainnya bergabung dengan kelompok di atas.
Dengan demikian, bangsa Malesung terbagi menjadi tiga golongan besar, yaitu:
I. Golongan Makarua Siow (2 x 9), yaitu golongan agama, yang mengatur ibadah dan adat istiadat. Merekalah kaum walian dan tonaas.
II. Golongan Makatelu Pitu (3 x 7), yaitu golongan militer, yang menjaga keamanan. Mereka itu adalah para waranei dengan pemimpinnya, yaitu teterusan.
III. Golongan Pasiowan Telu, yaitu rakyat biasa seperti petani dan pemburu.
Ketika pemukiman pertama di Nietakan telah penuh sesak, maka sejumlah keluarga dari

B. Kongres Raya di Watu Pinawetengan
Penetapan pembagian di Watu Pinawetengan
Di bawah kaki pegunungan Tonderukan berhimpun para penghulu dari ketiga kelompok anak cucu Lumimuut dan Toar. Oleh Lumimuut dan Toar ditetapkan: (1) Empat lambang agama; dan (2) Empat wilayah awuhan yang kemudian dikenal dengan tanah adat rumpun. Kemudian oleh opo Muntuuntu anak tertua dari kelompok “makatelu pitu” yang sangat bijaksana dan berdasarkan penelitiannya, akibat penyebaran pertama dari Wulur Maatus serta pengaruh pendatang di tempat mereka menetap sehingga terjadi perubahan dalam bahasa, menambahkan (3) Pengelompokan dalam empat bahasa/nuwu.
Yang menyelenggarakan penentuan pembagian diserahkan sepenuhnya oleh Lumimuut dan Toar kepada anak-anak mereka. Maka dipilihlah opo Muntuuntu sebagai pemimpin pembagian.

Pelaksanaan pembagian di Watu Pinawetengan.
Maka diadakanlah perhitungan kehadiran para penghulu dari ketiga kelompok serta sekaligus mengelompokkan mereka menjadi empat kelompok yang berbahasa mirip. Atas jumlah pengelompokan itu dibagilah besarnya tanah awohan. Yang banyak penghuninya mendapat tanah yang besar sebaliknya yang kecil mendapat pula tanah yang kecil. Penghuni bahagian utara yang kemudian dikenal dengan rumpun Touw-Tewoh/Tounsea meskipun jumlah mereka yang terkecil namun tanah perburuan mereka tidak pernah dijamah oleh saudra-saudara di selatan mereka. Dan oleh karena sebagian besar yang menjadi penghulu di sana adalah dari kelompok se Makatelu-Pitu maka keadaan utara sangat ttenang. Mereka menolak kalau tanah awohan mereka diperkecil. Dan setelah tanah itu ditetapkan menjadi tanah Touwtewoh dan kemudian menjadi tanah Tonsea keadaan mereka tetap utuh karena antara walian wangko mereka yang berkedudukan di Tonsea Lama dan pimpinan pemerintahan Kepala Walak/Tonaas yang berkedudukan di Kema selalu terjalin hubungan yang baik dan masing-masing tidak mencampuri urusan lainnya. Penghuni bagian tengah terpecah menjadi dua bagian.
Maka pembagian tanah awohan dibahagi atas 4 bagian sesuai pembagian alam pada bagian atas batu Pinawetengan: I. Toutewoh, II. Tounsendangan, III. Tounmayesu, Tounpakewa.
Berpencarlah keempat hulu rumpun ke tempat masing-masing sesuai yang telah ditentukan oleh Lumimuut dan Toar.
• Rumpun Toutewo: Rumpun ini dihantar oleh penghulu-penghulunya antara lain: Talumangkun, Tumewan, Makarewa serta yang lainnya pergi mendirikan taratak foso di tempat bernama Niharanan.
• Rumpun Tourikeran/Tousendangan: Diantar oleh penghulunya: Tiwatu, Rumawiei, Welong, Timbeler, Talainang, Mapangingi dan Tumangkar pergi mendirikan taratak foso di tempat bernama Roong wangko.
• Rumpun Toumeiesu: Diantar oleh penghulunya: Rumengan, Kumiwel, Manarainsang, Pinontoan pergi mendirikan taratak foso di tempat bernama Meiesu.
• Rumpun Toukinembut: Diantar oleh penghulunya: Soputan, Makaliwe, Makawalang, Totokai, Tingkuleindang, Kawatak pergi mendirikan taratak foso di tempat bernama Tumaratas/Tuur in tana’ di tempat yang tinggi dekat watu Pinawetengan.
Maka mereka membangun taratak-taratak mereka serta menempatkan lambang/tanda foso serta peraturan persembahan sesuai dipesankan di Watu Pinawetengan oleh Toar-Lumimuut, serta melaksanakan tata cara persembahan, baik di Watu Pinawetengan maupun di tempat pusat tanah pencaharian (awuhan) masing-masing.
Waktu itu belum semua daratan Minahasa dihuni, baru sampai di garis kuala Ranoiapo, gunung Soputan, gunung Kawatak, kuala Rumbia. Pada abad XV ketika penduduk sudah semakin banyak, terjadi perang antara keturunan Toar Lumimuut dengan penduduk Bolaang Mongondow. Sejak itu penduduk mulai menyebar ke seluruh Minahasa, menjadi suku: Tounsea, Toumbulu, Tountemboan, Toulour, Tounsawang kemudian penduduk pendatang dengan nama Bantik, Pasan dan Ponosokan. Orang-orang Bantik, Tounsea, Toulour, Toumbulu dan Tountemboan adalah suku Minahasa asli.

SEJARAH MINAHASA

A. Minahasa pada Masa Kolonial
Sistem Pemerintahan
Orang Minahasa (dahulu disebut Malesung) telah mengenal sistem pertahanan adat dalam satu dari tiga golongan pada masa sebelum tahun 670 Masehi yaitu pada golongan Makatelu Pitu. Kepala perangnya adalah Teterusan dengan prajurit biasa yang disebut waranei.
Pada masa dahulu kala, bangsa Minahasa masih menyebut kelompok etnis mereka sebagai bangsa Malesung. Sistem pemerintahan di Malesung saat itu adalah sistem pemerintahan republik desa atau republik wanua, atau disebut juga republik walak. Wanua ini berupa sekumpulan rumah-rumah besar yang terdiri dari beberapa kerabat yang saling berdekatan.
Kemudian kompleks pemukiman ini menjadi padat sehingga beberapa keluarga mendirikan pemukiman baru yang disebut sebagai tumani. Tumani ialah usaha pendirian sebuah kompleks pemukiman yang baru yang merupakan cikal-bakal dari sebuah wanua.
Ada beberapa tumani yang bertumbuh dari kebiasaan tinggal di kebun ladang. Tumani ini muncul dari sekumpulan peladang yang tinggal berhari-hari bahkan berbulan-bulan lamanya, dikarenakan lokasi kebun ladang tersebut jauh dari wanua. Aktivitas ini disebut mento’. Ada kalanya para peladang ini membawa serta keluarganya untuk menetap di kebun. Kumpulan dari keluarga peladang ini dapat meneruskan komunitasnya dengan membentuk suatu wanua baru. Timbullah upaya tumani oleh keluarga-keluarga tersebut.
Wanua, kemudian pada masa Hindia-Belanda disebut negeri atau kampung memiliki sistem pemerintahan republik desa tersendiri.
Pada masa purba penduduk Malesung berdiam di tempat strategis, berkenaan dengan seringnya terjadi perang antar suku. Penduduk hidup berkelompok dan membentuk masyarakat hukum geneologis, menurut garis keturunan ayah (patrilineal). Kelompok-kelompok sosial geneologis ini makin lama makin maju pertumbuhannya, sehingga berkembang menjadi bentuk struktur politik yang nyata.
Dari kesatuan terbawah keluarga, terbentuk kesatuan kepala keluarga, dan dari gabungan kesatuan kepala keluarga terbentuk sebuah negeri atau wanua, dipimpin seorang tua adat yang dianggap memiliki kesaktian dengan gelaran Tonaas. Tugasnya macam-macam. Seperti: mengatur negeri, perkebunan, menafsir tanda burung, dan paham cara mengatasi hama perusak tanaman seperti tikus, babi hutan, kera, ular dan burung.
Wanua bersama wanua lain membentuk Pakasaan, yang dikepalai seorang Hukum Wangko atau Tonaas Wangko, yang disebut juga Kolano atau Kalaw Witi di Kakaskasen. Tokoh-tokoh penting lain dalam struktur masyarakat purba adalah Teterusan yang bertugas menangani seluk-beluk pertahanan dan keamanan, dengan stafnya yang disebut Waranei atau prajurit. Kemudian yang bertanggungjawab soal-soal keagamaan adalah Walian, yang berkewajiban menyelenggarakan upacara-upacara adat, mahir ilmu perbintangan, dan menentukan waktu membuka kebun, hutan atau negeri baru. Ada kalanya Walian seorang wanita. Sebagai pembantu Walian adalah Putoosan yang ahli mengartikan mimpi, pandai ilmu sihir, tukang obat dan pandai mengusir setan.

Pakasaan dan Walak
Pada masa dahulu Minahasa terdiri dari walak-walak Tontemboan, Tombulu, Tonsea dan Tondano, yang merupakan rersatuan dan kesatuan keluarga masing-masing kelompok itu. Kesatuan kelompok tersebut disebut paesaan, kemudian berubah menjadi Pahasaan, terakhir berkembang menjadi Pakasaan.. Walak-walak Minahasa pada awal abad ke-19 tercatat: Manado, Negeri-Baharu (Negeri-Baru/Titiwungen), Ares, Mawuring, Tondano-di-bawah (pemukiman orang Tondano di Manado), Kalabat-bawah (Maumbi), Tomohon, Tonsarongsong (Sarongsong), Tombariri, Kakaskasen, Tonsea, Kalabat-atas, Tondano-Toulimambot, Tondano-Touliang, Kakas, Remboken, Tongkimbut-atas/Sonder, Tongkimbut-bawah/Kawangkoan, Langowan, Tompaso, Rumo’ong, Tombasian, Tonsawang, Pasan, Ratahan, Ponosakan, Bantik.

Kedatangan Bangsa Barat
Armada perdagangan Portugis secara resmi mengirim Antonio de Abreu ke Maluku pada tahun 1512. Pada tahun itu juga tiga kapal layar ke Manado (Pulau Manado Tua). Portugis kemudian melakukan perjalanan ke Uwuran (sekarang Amurang) dan disana mereka mendirikan Benteng Amurang. Ketika mereka tiba di Uwuran, Portugis yang saat itu membawa lebih banyak pedagang dan pimpinan rohani dari pada serdadu, belum berani memasuki daerah pedalaman. Mereka hanya mampu mendirikan benteng-benteng batu di tepi pantai dan pulau di sekitar Minahasa, seperti di Siau.
Pada tahun 1608 Kapiten VOC Jan Lodewijk Rossinggeyn mendirikan loji (benteng kayu) di muara kuala Wenang
Spanyol mengakar di daerah Sulawesi Utara setelah Raja Manado Tululio dan sejumlah raja lainnya bersahabat dengan mereka.
Kontak pertama Minahasa dan Belanda terjadi pada bulan Februari 1644, saat 8 orang (H.M. Taulu mencatat: Kepala Walak Tomohon Lumi, Lontaan, Umboh, Siwi, ketiga anak Lumi yaitu Posumah [ayah Sahiri Supit], Taulu dan Kalangi, serta seorang pendayung dari Babontehu/Siau; dalam tulisan lain Taulu menambahkan Lontaan, Timbuleng)berperahu ke Ternate bertemu Wouter Seroyen, Gubernur VOC di Maluku (1642-1644). Tujuan mereka meminta bantuan memerangi Spanyol yang bertindak brutal di tanah Minahasa sekaligus ingin bersahabat dengan Kompeni Belanda. Nanti tahun 1655 Belanda baru membangun Benteng Nederlandsche Vastichheyt di muara kuala Wenang oleh Gubernur Simon Cos. Kendudukan VOC di tanah Minahasa dimulai dengan pendirian loji tahun 1608 untuk menampung beras dari pegunungan serta pertahanan sederhana.pada pinggiran muara kuala Tondano di daerah Wenang oleh Kapten VOC Jan Lodewijkz Rossingeyn. Ia melaporkan kepada pemegang kuasa gubernur Maluku Laksamana Paulus van Coerden bahwa pada saat itu loji Manado telah direbut oleh Spanyol. Kemudian pada tahun 1657-1664 loji Manado didirikan kembali oleh Kapten VOC Paulus Andriessen. Sekitar tahun 1666-1668, Sersan VOC Jan Baptista memimpin pembangunan Benteng Amsterdam dari beton. Tahun 1668 pimpinan benteng tersebut dipegang oleh Sersan VOC Jockum Sippman. Sekitar tahun 1682 disebutkan bahwa komandan benteng tersebut bernama Sersan Smith.
Dalam usaha menegakkan kekuasaan di kawasan utara Sulawesi, Kompeni Belanda menunjuk Dr. Robertus Padtbrugge (lahir di Parijs, 1637 – † Amersfoort, 1703), seorang administrator dan politikus ulung menjadi Gubernur Maluku tahun 1677-1682. Pada kunjungannya kedua di Manado pada 25 Desember 1678, ia mendapat kabar terganggunya perdagangan dengan orang Minahasa akibat peperangan antara orang Minahasa dan Raja Loloda Mokoagow. Segeralah ia memerintahkan serdadu Belanda di Manado membantu para ukung melawan Loloda. Tindakan ini meninggalkan kesan baik di kalangan bangsa Minahasa sehingga ia segera memanfaatkannya dengan melakukan perjalanan ke pedalaman melakukan negosiasi dengan para ukung.

Hasilnya, dibuat naskah Kontrak Persahabatan (verbondt ende contract) tanggal 10 Januari 1679, “Perjanjian dan ikatan yang diadakan oleh Gubernur Maluku, Robertus Padtbrugge atas nama Gubernur Jenderal Rijckloff van Goens dan Raad van Indië (Dewan Hindia) yang mewakili Kompeni Hindia Belanda Timur pemegang hak monopoli dan Negara Belanda Serikat dengan dorphoofden (para ukung) dari Manado
Berbeda dengan kerajaan di sekitar Minahasa, kontrak ini dilakukan dengan seluruh kepala walak (waktu itu komunitas berupa desa besar) dengan istilah dorpstaten, atau negara desa, tegasnya: Republik Desa. Istilah verbondt – bondgenooten (perjanjian persahabatan/ persekutuan/aliansi) ditegaskan antara keduanya belah pihak. Dengan demikian kontrak ini jelas-jelas merupakan sebuah perjanjian bilateral antara dua negara (international verdrag), dua bangsa yang sama derajat.
Beberapa waktu kemudian pegawai kompeni mulai menipu rakyat, sehingga pada tahun 1681-1683 penduduk mulai mogok menjual beras. Keadaan ini membuat Kompeni mengadakan revisi kontrak tanggal 10 September 1699. Kontrak ditandatangani Residen Manado Kapiten Paulus de Brieving dan Asisten Residen Samuel Hatting dengan ketiga Hoofdhoecum-majoor (Kepala Hukum Majoor/Kepala Walak) Minahasa yaitu Soepit, Lontoh, Paat.
Kontrak 1699 ini ditolak seluruh anggota walak Minahasa karena melarang beberapa kebiasaan adat serta menolak tunduk kepada Kompeni sebagai Raja Diraja. Pemerintah Kompeni di Batavia pun menulis memo kepada Pemerintah Kerajaan Belanda akhir tahun 1702: “Di Manado (=Minahasa) rakyat yang liar buas, sebagaimana adat kebiasaannya bangkit menolak kontrak 1699, karena tidak tahu membaca dan menulis Latin, sambil bersatu melanjutkan kehidupan yang garang, yang oleh Pemerintah Provinsi di Ternate dibiarkan, agar tidak membuat mereka menjadi sakit hati.” Juga “… kepada Gubernur Ternate, Pemerintah Batavia memberi perintah: kepada rakyat di Manado pada masa depan, jangan diperintah dengan keras, diperlakukan dengan baik, asalkan benteng (Amsterdam) dapat diperkeras karena telah tua, demikian maksud Kompeni, asal keadaan dapat menjadi baik.” Residen Thomas Heijmans pada tanggal 28 April 1728 dan Gubernur Ternate Anthonij van Voorst pada tahun 1763 memberi alasan lain: “Manado de broodkamer der Molukken” (Manado adalah gudang roti dari Maluku). Tahun 1710 Residen Jacob Claesz menyatakan dalam Memori Serah-Terima bahwa penduduk Minahasa adalah sekutu, bukan geen overwinnelingen (rakyat taklukkan).
Ternyata pihak Kompeni Belanda masih melakukan tindakan yang merugikan bangsa Minahasa. Puncak dari emosi bangsa Minahasa meledak dalam peristiwa Perang Tondano tahun 1808-1809.
Pada tahun 1801, ada kapal perang yang menembaki benteng Belanda di Manado. Setelah diselidiki ternyata kapal perang tersebut milik Inggris. Mengetahui ada konflik antara Belanda dan Inggris maka para Walak Minahasa meminta bantuan Inggris untuk mengusir Belanda. Dalam upaya mengusir Belanda, Gerrit Wuisang membeli senapan, mesiu, dan meriam dari Inggris. Nanti pada bulan September 1810 Inggris mendarat di Minahasa serta menerima penyerahan dari para pegawai Belanda kepada Resident Inggris Letnan Thomas Nelson. Dibandingkan Belanda, reputasi Inggris dikenal sebagai ‘bangsa Eropa yang agak sopan dalam menjajah’. Maka pada tanggal 14 September 1810 diadakan kontrak dengan pihak Inggris. Walak yang waktu itu erjumlah 26 disebut dalam kontrak sebagai departement. Kontrak ini berisi perjanjian bahwa Minahasa mengakui kekuasaan Inggris, Minahasa memasukkan beras 56.000 gantang per tahun atau 700 koyang seharga 30 ringgit per koyang (1 koyang= 80 gantang= 1.500 kg), Inggris akan mengimpor beberapa jenis kain, kepala pribumi berjanji meniadakan pembunuhan dengan cara to’tok. Kekuasaan Inggris di Manado berakhir tanggal 21 April 1817 dan diserahterimakan dari Residen Cursham kepada Residen T.P.A. Martheze asal Belanda, berdasarkan Traktat London tahun 1814, di mana Inggris harus mengembalikan seluruh daerah yang direbutnya dari Belanda.

B. Perang Minahasa-Bolmong
Perang Minahasa – Bolaang Mongondow (Abad ke-17)
Timbulnya perang Minahasa–Bolaang Mongondow berawal dari kisah Pingkan-Matindas. Pingkan Mogonunoy adalah seorang puteri dari Walak Tombariri (dari Tombulu) yang tinggal di Mandolang dekat Tanawangko. Ia kawin dengan Makaware’ Matindas asal Tonsea.

Peristiwa Pingkan-Matindas ini adalah sebagai berikut: Pingkan Mogonunoy adalah seorang gadis yang tinggal di Mandolang dekat Tanawangko, yang kemudian kawin dengan Makaware’ Matindas asal Tonsea. Matindas adalah seorang nelayan. Agar ia tidak merasa kesepian saat melaut maka ia membuat dua buah patung yang diukir dari kayu. Patung yang satunya menyerupai dirinya, sedangkan lainnya menyerupai istrinya, Pingkan Mogonunoy, seorang perempuan cantik. Patung Pingkan selalu dibawanya dalam setiap pelayaran dalam mencari ikan di laut. Suatu ketika terjadilah badai pada saat ia sedang mencari ikan di laut. Patung itu jatuh ke laut. Matindas sendiri terdampar di Pulau Mangindanau selama beberapa saat lamanya sampai akhirnya ia dapat kembali lagi ke tanah Minahasa.
Akhirnya patung kayu itu jatuh ke tangan Raja Mokoagow di kerajaan Bolaang Mongondow yang saat itu memerintah dari Amurang. Melihat akan keelokan dari patung ini, maka ia menyuruh bawahannya mencari perempuan yang serupa dengan patung itu. Mokoagow jatuh cinta pada Pingkan Mogogunoi yang tinggal di Mandolang. Karena kecantikan Pingkan, membuat ia mabuk kepayan, walau Pingkan sudah menikah dan melarikan diri bersama suaminya Matindas. Setelah beberapa lama, akhirnya mereka menemukan Pingkan di pantai Mandolang. Akhirnya Raja Mokoagow meminta agar Pingkan menjadi istrinya.
Pingkan dan Matindas terkejut mendengar maksud Raja Dodi Mokoagow dari kerajaan Bolaang Mongondow itu, sehingga terpaksa mengambil keputusan lari meninggalkan Mandolang, pindah ke Maädon, dekat Kema. Walau demikian, Mokoagow tetap menggebu-gebu maksudnya itu. Akhirnya Pingkan dan Matindas mencari akal. Pingkan menyuruh raja Mokoagow memanjat sirih pinang dan menipu raja dengan mengatakan bahwa ia harus memakai baju Matindas suaminya agar orang mengira bahwa yang naik itu adalah suaminya Matindas. Sementara raja sedang berada di atas pohon pinang memetik sirih, Pingkan menyuruh suaminya Matindas mengenakan pakaian raja. Matindas dengan berpakaian raja menyuruh prajurit raja agar membunuh orang yang berpakaian Matindas. Akhirnya raja Mokoagow mati dibunuh prajuritnya sendiri.
Hal ini diketahui oleh keluarga raja yang kemudian mengakibatkan perang di antara Malesung dan Bolaang Mongondow.
Perang pertama antara bangsa Minahasa dan kerajaan Bolaang-Mongondow diperkirakan terjadi antara tahun 1460-1590. Dalam peperangan pertama, Pingkan dan Matindas meninggal demi membela kehormatan bangsanya.

1. Perang Malesung vs Bolaang-Mongondow Pertama (1606)
Pada saat orang Bolaang berada di bawah kepemimpinan Ramokian (salah satu anak dari Rama Polei/Rama Polii) bersama iparnya Panulogon menderita kekalahan pahit dalam perang di Langowan, mereka meminta didatangkan bala bantuan dari Bolaang-Mongondow dan menyerang negeri Kakas dan Toudano. Tetapi para teterusan (panglima perang) dan waranei (prajurit) dari kedua walak ini, dipimpin oleh Kepala Walak merangkap Teterusan dotu Gerungan dari Tondano dan Wengkang dari Kakas memukul mundur musuh sampai di Mangket (dekat negeri Kapataran sekarang). Ketika didengar oleh Walak Remboken tentang serangan atas sesama suku/pakasaannya, maka Kepala Walak Tarumetor (anak tiri dari Kepala Walak Tountemboan, Ka’at) bersama pemimpin-pemimpin lain, yaitu Kambil, Pakele, Sumojop, Kawengian, Koagow, Sumarau, Kowa’as dan Sendou berangkat menuju mangket di mana tentara Bolaang telah membangun kubu-kubu pertahanan berupa benteng dan menyerangnya. Di depan pintu benteng tersebut, Tarumetor menusuk mati Ramokian. Setelah mereka menyerbu masuk benteng, mereka menemukan mayat Panulogon di antara mayat-mayat tentara Bolaang. Pedang Ramokian hingga kini disimpan di Remboken.
2. Perang Malesung vs Bolaang-Mongondow Kedua
Ratuwinangkang (anak Panulogon dari istri Raunpo’ondou) setelah dikukuhkan sebagai raja, maka anaknya, Ratuwangkang, ditunjuk sebagai panglima perang. Keduanya ingin mencaplok tanah Malesung dan memerangi bangsanya terus-menerus. Gangguan ini membuat keempat suku/pakasaan Malesung mengikat sumpah untuk bergabung dalam satu kesatuan “Minaesa”. Lima tempat ditentukan sebagai lokasi upacara sumpah ini, yaitu di Touneroan, Niaranan, Pakewa, Roong-Wangko (Tourikeran) dan di kaki Gunung Wulur-Ma’atus. Sejak saat itu seluruh suku-suku/pakasaan bersatu kembali, maesa (bersatu) yang menimbulkan nama Minaesa (telah menjadi satu). Tentara Bolaang-Mongondow yang datang memerangi bangsa Malesung/Minaesa itu dibagi dalam lima bagian pasukan:
 Pasukan pertama, di bawah pimpinan rajanya, Ratuwinangkang, menyerang Manado;
 Pasukan kedua, di bawah pimpinan panglimanya, Ratuwangkang, menyerang Toundano, Kakas dan Remboken (pakasaan Tondano/ Toulour);
 Pasukan ketiga, maju menyerang pakasaan Tompakewa/Tountemboan;
 Pasukan keempat, di bawah pimpinan Kuhiting menyerang pakasaan Tonsea;
 Pasukan kelima, menyerbu Pulau Lembeh dan Bangka.
Kelima pasukan ini berhasil ditumpas oleh bangsa Malesung karena pasukan Bolaang-Mongondow tidak mengetahui adanya ikrar bersama antara keempat pakasaan Malesung itu. Dimana-mana mereka dihancurkan dan ditumpas pasukan Malesung, sisanya lari tercerai-berai di seluruh tanah Minahasa, termasuk suku Bantik. Akibat terpencarnya sisa-sisa pasukan Bolmong membawa efek samping karena mereka mulai mengadakan perang gerilya dengan membentuk grup-grup kecil mereka merampok dan membunuh.
3. Perang Malesung vs Bolaang-Mongondow Ketiga dan yang Terakhir
Dengan terjadinya gangguan yang ditimbulkan oleh pengacau grup-grup kecil tersebut, maka Minaesa (“se Maesa”) mengambil keputusan akan menghancurkan dan membasmi mereka untuk selama-lamanya. Utusan dikirim ke seluruh pakasaan. Mereka memutuskan untuk tidak akan berhenti sebelum semua musuhnya dikalahkan.
Pasukan-pasukan keempat pakasaan Malesnung/Minaesa dipimpin oleh 15 Kepala-kepala (Pemimpin):
 Dari Pakasaan Tountemboan (Tounkimbut/Tompakewa): Koemeang, Porong, Lampas, Waani;
 Dari Pakasaan Tounsea (Tountewoh): Lengkong Wuaya, Ramber;
 Dari Pakasaan Toundano/Toulour: dotu Gerungan dari Walak Tondano (Tourikeran), Wengkang dari Walak Kakas, dan dari Walak Remboken (Rinembok) adalah Tarumetor, Pakele, Kambil, Kentur;
 Dari Pakasaan Toumbulu (Mayesu): Pelealu, Wangka, Tekelingan.
Pasukan Malesung berhasil menghalau dan membinasakan gerombolan Bolaang-Mongondow di tanah Malesung/Minahasa pada bulan Juni 1693 di Tompaso dengan membakar mayat pasukan Bolmong untuk membuat mereka ngeri (di Toraget, asal kata tou-rages/tou-racet).
Kemudian dadakanlah perjanjian pada bulan Januari 1694 antara orang Minahasa dengan Bolmong yang disponsori Residen VOC Herman J. Steynkuyler. Bulan September 1694 perjanjian diteguhkan oleh Raja Jacobus Manoppo dengan mendirikan sebuah batu perjanjian bernama Batu Binarisan, dan ditentukan bahwa perbatasan Minahasa dan Bolaang Mongondow adalah Tanjung Poigar – kuala Poigar – Pontak – kuala Buras/Buyat. Tahun 1711 Raja Jacobus Manoppo menuntu kembali tanah-tanah yang dirampas dari ayahnya, Loloda Mokoagow, namun ditolak kompeni VOC. Bahkan pada masa pemerintahan Raja Salmon Manoppo, pernah mencabut tiang-tiang perbatasan Minahasa dan Bolaang Mongondow sehingga ia ditangkap dan dibuang ke Tanjung Harapan di Afrika Selatan.

C. Perang Minahasa dengan Bangsa Eropa

Perang Minahasa – Spanyol (Tahun 1644)
Bangsa Spanyol berhasrat menjajah Minahasa (Malesung) dengan mengangkat seorang raja di kalangan orang Minahasa. Pada masa itu Minahasa mempunyai 19 walak (negara desa) yang tidak mengenal kesatuan politik antar walak. Masing-masing merdeka dan berdaulat penuh. Hal ini membuat bangsa Minahasa menolak.
Orang yang hendak dijadikan raja oleh Spanyol adalah Mainalo dari Kinilow, seorang peranakan Spanyol-Tombulu dari ibunya Lingkambene. Ketika ditanyakan kepada Ukung/Kepala Walak Tou Muung waktu itu yaitu Lumi (yang disebut juga Worotikan), ia menolak mentah-mentah maksud itu. Seorang serdadu Spanyol (mungkin serdadu asal Filipina) naik darah dan menempeleng Lumi hingga terjatuh. Hari itu tanggal 10 Agustus 1644, menurut tulisan Pater Juan Yranzo. Pada malam itu juga Lumi mengumumkan perang dan pembunuhan total terhadap seluruh bangsa Spanyol yang berada di Pakasaan Tombulu serta di seluruh tanah Malesung. Ke Tonsea, Toulour dan Tompakewa (Tountemboan) pun dikirim berita yang sama. Seluruh peperangan menumpas orang Spanyol ditulis oleh Pater Juan Yranzo di Manila tanggal 4 Agustus 1645 sekembalinya dari tempat persembunyian di Manado. Ia menulis sebagai berikut:
Setelah peristiwa tanggal 10 Agustus 1644 maka Spanyol menarik diri dari Minahasa dan pindah ke pulau Siauw, tetapi kemudian menghasut Kerajaan Bolaang Mongondouw untuk memerangi Minahasa. Dari sengketa Minahasa-Mongondow sampai tahun 1651, terlihat nama-nama orang yang mengobarkan perang mengusir Spanyol tanggal 10 Agustus 1644. Salah satu korban dalam perang ini adalah seorang pater bernama Lorenzo Garralda OFM. Mengapa ada angka 10.000 orang? Padahal penduduk Minahasa waktu itu baru sekitar 21.000 jiwa. Dapat disimpulkan mengapa ada persatuan dari keempat pakasaan ini, tidak lain karena serbuan dari Bolaang Mongondow yang bermula dalam peristiwa Pingkan-Matindas. Persatuan dalam menghadapi serbuan Bolmong inilah yang menyebabkan mengapa waktu Perang Minahasa-Spanyol, hampir semua orang Minahasa ikut dalam penyerbuan terhadap orang Spanyol.

Perang Tondano/Perang Minahasa di Tondano (Tahun 1808-1809)
Kebencian bangsa Minahasa terhadap Belanda diakibatkan tindakan pegawai kompeni yang berulang kali menghina dan menipu orang Minahasa. Walau terjadi serangkaian perjanjian tahun 1789, dan 1790 ternyata pihak Kompeni Belanda masih melakukan tindakan yang merugikan bangsa Minahasa. Puncak dari emosi bangsa Minahasa meledak dalam peristiwa Perang Tondano tahun 1808-1809. Awalnya Gubernur Jenderal H.W. Daendels memutuskan memperbesar Angkatan Bersenjata Hindia menjadi 20.000 anggota untuk menangkal potensi serbuan Inggris di Jawa (waktu itu Belanda yang dikuasai Perancis dimusuhi Inggris). Dalam rangka pelaksanaan keputusan itu, 2.400 orang harus direkrut dari daerah Residensi Manado, dan dari jumlah ini Minahasa mendapat jatah memasok 2.000 orang. Berbagai perundingan yang dilakukan Residen C.C. Prediger dengan para ukung selalu gagal sehingga pecahlah perang ini. Hampir seluruh walak di Minahasa memberikan tenaganya untuk melakukan perlawanan di Benteng Moraya di pemukiman Tondano di atas air. Para pemimpin waktu itu Matulandi, Tewu dan Frederik Lumingkewas dari Tondano, Lontoh dari Tomohon, dan Mamait dari Remboken. Akibat kalah strategi dan kekurangan bahan makanan, benteng pertahanan ini runtuh pada malam antara tanggal 4 dan 5 Agustus 1809.

Pendudukan Jepang (1942-1945)

D. Minahasa Pasca Indonesia Merdeka

Minahasa terbagi atas daerah-daerah otonom berupa kota dan kabupaten yang berada di bawah administrasi Provinsi Sulawesi Utara (Sulut). Kota dipimpin oleh seorang Walikota (dengan seorang Wakil Walikota) dan kabupaten dipimpin oleh seorang Bupati (dan seorang Wakil Bupati). Daerah-daerah tersebut adalah: Kota Manado, Kota Bitung, Kota Tomohon, Kabupaten Minahasa, Kabupaten Minahasa Utara, Kabupaten Minahasa Selatan dan Kabupaten Minahasa Tenggara. Ada juga sejumlah daerah yang sedang memperjuangkan untuk menjadi sebuah daerah otonom yaitu Kota Langowan dan Kabupaten Minahasa Tengah.
Pada mulanya Tanah Minahasa terdiri dari satu kabupaten dan kota (Kab. Minahasa dan Kota Manado), kemudian berkembang dengan lepasnya Kota Administratif Bitung tahun 1975 (menjadi Kota Madya tahun 1990), Kabupaten Minahasa Selatan dan Kota Tomohon tahun 2003, Kabupaten Minahasa Utara tahun 2004. Kabupaten Minahasa Tenggara pisah dari Minsel bulan Mei 2007.
Pada 25 Februari 2003 Kabupaten Minahasa dimekarkan menjadi Kabupaten Minahasa, Kabupaten Minahasa Selatan dan Kota Tomohon berdasarkan UU No. 10/2003 tentang Pembentukan Kabupaten Minahasa Selatan dan Kota Tomohon di Provinsi Sulawesi Utara. Pada tanggal 18 Desember 2003 Kabupaten Minahasa dimekarkan lagi menjadi Kabupaten Minahasa dan Kabupaten Minahasa Utara berdasarkan UU No. 33/2003.
Daerah Minahasa Selatan dibentuk berdasarkan UU RI No. 10/2003 tentang Pembentukan Kabupaten Minahasa Selatan dan Kota Tomohon di Provinsi Sulawesi Utara oleh DPR RI. Namun kedua daerah pemekaran baru ini diresmikan pada tanggal 4 Agustus 2003 dengan pelantikan penjabat Walikota Tomohon dan penjabat Bupati Minahasa Selatan.
Kabupaten Minahasa Tenggara kemudian lepas dari Kabupaten Minahasa Selatan berdasarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 2007 tanggal 2 Januari 2007.

E. Pergolakan Permesta

Samua penduduk, binatang, deng pohon, deng rumput pun samua pro Permesta!

Hanja kalau kering Danau Tondano, rata Gunung Lokon, Klabat dan Soputan, baru Tentara Djuanda dapat mengindjakkan kakinja di Minahasa

Jumat tengah malam tanggal 1 Maret 1957, sejumlah tokoh masyarakat di kota Makasar di jemput untuk berkumpul di gubernuran. Mereka hendak mengadakan rapat untuk persiapan sebuah proklamasi dari suatu hasrat luhur yang sudah sangat lama menggejolak. Malam telah merambat dini hari. Pukul 3 rapat di buka, oleh Overste Ventje Sumual. Ia membacakan proklamasi itu.Inilah Proklamasi SOB (Staat van Oorlog en Beleg) PERMESTA tersebut, yang memulai babak baru dalam sejarah Indonesia Bagian Timur:

P R O K L A M A S I
Demi keutuhan Republik Indonesia, serta demi keselamatan dan kesedjahteraan Rakjat Indonesia pada umumnja, dan Rakjat Daerah di Indonesia Bahagian Timur pada chususnja, maka dengan ini njatakan seluruh wilajah Territorium VII dalam keadaan darurat perang serta berlakunja pemerintahan militer sesuai dengan pasal 129 Undang – Undang Dasar Sementara , dan Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 1948 dari Republik Indonesia.
Segala peralihan dan penjesuaiannja dilaku- kan dalam waktu jang sesingkat-singkatnja dalam arti tidak, ulangi tidak melepaskan diri dari Republik Indonesia.
Semoga Tuhan Jang Maha Esa beserta kita dan menurunkan berkat dan hidajatNja atas umatNja.-
Makassar , 2 M a r e t 1957.-
Panglima Tentara & Territorium VII
ttd. Letk : H.N.V. Sumual/ Nrp : 15958

Selanjutnya Saleh Lahede membacakan Piagam Perdjuangan Semesta Alam, yang menjadi landasan pelbagai program pembangunan yang segera dilancarkan.

Prestasi Anak Bangsa

Pahlawan Nasional Indonesia
Mereka adalah Dr. G.S.S.J. Ratulangi (Sam Ratulangi), Maria Walanda-Maramis, Arie F. Lasut, R. Wolter Mongisidi, Pierre A. Tendean.

Tou Minahasa (Kawanua) yang pernah menjadi menteri dlm kabinet RI :
1. Mr. Alexander Andries (Alex) Maramis (Tonsea)
2. Ir. Herling Laoh (Sonder)
3. Frits Laoh (Sonder)
4. Mr. Arnoldus Isaac Zacharias (Arnold) Mononutu (Tonsea/Minut)
5. Frans Ferdinand (Nyong) Umbas (Kawangkoan)
6. Gustaaf Adolf (Utu’) Maengkom (Tondano)
7. Ir. Freddy Jaques (Fred) Inkiriwang (Kakas)
8. Ds. Wilhelm Johanis (Wim) Rumambi (Kakas-Tondano)
9. Drs. Jan Daniel Massie (Langowan)
10. Hans A. Pandelaki (Tomohon)
11. Drs. Theo Leo Sambuaga (Manado/Tonsea)
12. Jenderal TNI Try Soetrisno (Supit – Tompaso/Kanonang)
13. Laksamana TNI Soedomo (Rawis – Tompaso)
14. Hayono Isman (Wowor – Remboken)
15. Letjen. TNI Purn. Evert Ernest (Lape) Mangindaan, SH, SE (Amurang)

Kabinet-kabinet Negara Indonesia Timur (NIT)
Tou Minahasa (Kawanua) yang pernah menjadi menteri dalam kabinet NIT:
1. Dr. S.J. Warouw
2. E. Katoppo
3. G.R. Pantouw (Udo)
4. E.D. Dengah (Mais)
5. Mr. S.S. Pelengkahu
6. Dr. W.J. Ratulangi
7. Henk Rondonuwu
8. Ir. F.J. Inkiriwang (Fred)

Perempuan Minahasa
Bangsa Minahasa memiliki perempuan yang berprestasi. Ini dapat ditelusuri pada leluhur bangsa ini yang adalah wanita. Cikal bakal Minahasa ini bernama Lumimuut yang dipelihara oleh seorang perempuan tua bernama Karema. Lumimuut ini mengawini Toar, anaknya sendiri karena situasi Malesung saat itu yang tidak berpenghuni. Dari keturunan Toar-Lumimuut terbentuklah suatu bangsa yang bernama Malesung yang sekarang dikenal dengan Minahasa. Pada mulanya sistem kekerabatan di Malesung adalah menurut sistem matrilineal, yaitu keturunan yang berdasarkan atas garis keturunan perempuan. Pada perjalanan sejarahnya, sistem kekerabatan Malesung berubah menjadi sistem patrilieal, yaitu sistem kekerabatan yang berdasarkan atas garis keturunan pria seperti penggunaaan fam dewasa ini.

Pada era sekarang ini dapat kita catat prestasi sejumlah wanita Minahasa tersebut. Mereka adalah Wilhelmina Warokka (Mien) – seorang guru wanita pertama di Meisjesschool Tomohon, Ny. Maria Josephine Catharina Walanda-Maramis (1872-1924) – seorang pemerhati status sosial kaum wanita Minahasa, Etty Catherina Waworoentoe (1898-1986) – pioneer dalam penddikan wanita, Wulankajes Rachel Wilhelmina Ratulangi (kakak Dr. Sam Ratulangi dan istri Mayoor A.H.D. Supit) – wanita Indonesia pertama yang merebut ijasah pegawai K.E. (Kleinambtenaar) tahun 1898, Wulan Ratulangi (kakak kedua Dr. Sam Ratulangi) – wanita Indonesia pertama yang berhasil memperoleh ijasah Hulpacte tahun 1912, Nona Marie Doodoh – orang Indonesia pertama yang lulus Europeesche Hoofdacte, Stientje Adam – pemakalah dalam Kongres Pemuda Indonesia tahun 1926 dan 1928, Johana Masdani-Tumbuan (1910-2006) – pembaca teks Sumpah Pemuda dalam Kongres Pemuda tahun 1928, Ny. S.K. Pandean (1911-1997) – singa betina dari Minahasa, Dr. Marie Thomas (1896-1966) – dokter wanita pertama Indonesia lulusan STOVIA tahun 1922, Dr. Anna Warouw (1898-1979) – dokter wanita ketiga Indonesia lulusan STOVIA tahun 1924, Dr. Dee M.A. Weydemuller – dokter wanita kedua Indonesia lulusan NIAS Surabaya 1924, Prof. Dr. Mr. Annie Abbas-Manopo (1909-…) – sarjana hukum wanita pertama Indonesia lulusan HKS Batavia tahun 1934 juga guru besar wanita pertama Indonesia, Ny. A. M. Tine Waworoentoe (1899-1987) (anak Mayoor Bintang A.L. Waworuntu) – walikota wanita pertama Indonesia tahun 1950, Antonetee Waroh (1901-1991) – anggota parelemen wanita pertama di Indonesia Timur, Dr. Agustina/Zus Ratulangi (anak Dr. Sam Ratulangi) – anggota parlemen wanita & termuda di Indonesia, Pdt. Tine Lumentut (1937-2002) – dianggap sebagai wanita pertama di dunia yang memgang jabatan setingkat Uskup Agung dalam kapasitasnya sebagai Ketua Sinode GKST (setingkat Uskup Agung). Selain itu kita mengenal Marianne Katoppo, STh (…-2007) – sastrawan wanita Indonesia, Vonny Anneke Panambunan – wanita yang menjadi Bupati Minahasa Utara sejak tahun 2005, Linneke Sjenny Watoelangkow – wanita yang menjadi Wakil Walikota Tomohon sejak tahun 2005.
Ny. Mathilda Towoliu-Hermanses menjadi Ketua Dewan Kota Makassar masa permulaan Pergolakan Permesta tahun 1957. Ny. Theodora Walndouw, Asisten ketua Wanita Kristen Indonesia tahun 1948, Sekretaris dan Bendahara Kongres Wanita Indonesia 1948-1958, wakil rakyat di DPR-GR 1964.

A.L. Waworuntu dalam tulisannya tahun 1917: Laporan terakhir dari pendidikan pribumi dapat dibaca di halaman 40: “Prosentasi murid-murid perempuan (di seluruh Hindia Belanda), dimana sekolah-sekolah Keresidenan Manado adalah 36,4 %.

Ingatlah bagimu, Pudjikan termasa, Hhormat nama djadimu … bTanah Minahasa.
(Ingatlah selalu dan hormatilah namamu, Tanah Minahasa)
(Dr. J.G.F. Riedel, 1862)

Saya harap nama Minahasa akan tetap berpengaruh besar dan perkasa bagi anak cucu kita. Keuntungan yang diperoleh lewat persatuan jelas kelihatan. Kita semua orang Minahasa, baik pemerintah maupun rakyat, telah bersatu dalam suatu usaha yang indah. Bersatu dalam arti dapat menikmati jalan-jalan yang baik, rumah dan bisnis bagi keuntungan kita serta kesenangan bagi seluruh orang Minahasa. Maksud persatuan di atas itu termasuk hak memperoleh pengetahuan untuk membimbing kita bagi kehidupan sekarang dan di masa mendatang. (F. Makalew, dalam ‘Tjahaja Sijang’, 6 Sept 1895).

“Minahasa, bangsaku! Janganlah engkau kecewa oleh karena keletihan, kemalangan, maupun penindasan. Lihatlah apa yang berlangsung di Eropa dimana tiap orang mencintai bangsanya sehingga bila ia mati di medan pertempuran ia seakan-akan ingin mengatakan: Ambillah tubuh saya yang fana ini, saya berjuang sampai mati untuk tanahku dan bangsaku.
Kemajuan Minahasa yang sedang kita alami sekarang akan merupakan suatu kenangan yang indah untuk turun-temurun orang Minahasa dan akan merupakan suatu kebesaran yang abadi untuk tanah Minahasa dan bangsa Minahasa.”
(J.U. Mangowal 15 Desember 1915, dalam Nafiri Minahasa 1916)

“Saya tidak akan mempermasalahkan apakah keberadaan bangsa kami Minahasa disukai atau tidak. Karena itu adalah permasalahan teoretis. Bagi saya dan bangsa saya, jelas bahwa kami memiliki hak untuk eksis. Jadi tugas kami adalah bagaimana menjamin kelanjutan eksistensi Bangsa Minahasa sambil sedapat mungkin memperkecil penetrasi asing. Kami akan berusaha merumuskan suatu tujuan yang sesuai dengan kecenderungan-kecenderungan rakyat kami dalam menjalankan tugas tadi. Dan agar usaha-usaha kami dapat diterima dan dihargai, kita perlu mengenal hal-hal yang mendasarinya, yaitu posisi Minahasa selama ini terhadap Negara-Negara sekitarnya”
(Dr. Sam Ratulangi, dikutip dari Het Minahasisch Ideaal [Cita-cita Minahasa), dalam Voordrachten en Mededelingen Indische Verenigimg 28 Maart 1914, ‘sGravenhage-Holland)

WALE WATU OPO RUMENGAN {SUSURIPEN} DI GUNUNG MAHAWU

Di Tombulu pada jaman Malesung,terdapat sebuah wale watuyaitu tempat tinggal dari leluhur si penguasa di Gunung Mahawu yakni Rumenganbeserta keturunannya. Konon sebelum di tempati oleh Rumengan Wale watu atau berupa Goa dari batu tersebut telah di tempati oleh opo Toardan Lumimuut serta yang membesarkan anak-anak mereka di tempati, dan setelah anak mereka dewasa maka sebagian menyebar di beberapa gunung yang terdapat di seluruh tanah Malesung hingga berketurunan. Toar dan Lumimuut akhirnya memutuskan si Rumengan yang harus menempati  Wale Watu tersebut sesuai dengan namanya yang berarti Rengan-Rengaan artinya dia yang teratas atas amanah Toar dan Lumimuut tadi maka jelas Rumengan si penguasa serta yang mengawasi di Gunung Mahawu. Akhirnya atas izin Rumengan opo Tumalun yang di beri kuasa oleh Rumengan ikut mengawasi wilayah hutan di Gunung Mahawu dan sempat mendiami Wale watu atau Goa tersebut dalam waktu cukup lama sampai ia dewasa. Wale Watu atau Goa opo Rumengan ini biasanya di sebut dengan Goa Susuripen artinya Goa yang bila kita masuk akan mendapat berupa ruangan atau kamar-kamar yang ruangannya ada yang besar kecil,dan bahkan pintu masuk ruangan sempit. Wale Watu atau Goa Susuripen tersebut pintu masuk goa cukup besar dan bila memasukinya lama kelamaan mengecil hingga sampai di ujung goa terdapat sebuah meja datar sebagai tempat meletakan Sirih-Pinang isthilanya Mahwetang dalam Bahasa Tombulu atau kebiasaan serupa dalam hal kepentingan adat seperti Upacara Rumages di tempat itu oleh para leluhur secara turun-temurun samapai kepada para Walian maupun Tonaas di jaman sekarang sering mangadakan upacara-upacara tersebut. Sebelum masuk pintu goa dari Wale Watu di sebelah kiri terdapat sebuah batu datar yang biasanya di gunakan tempat balapas {Mahweteng} sebagai tanda minta izin atau di sebut Zumigi dengan maksud balapas terlebih dahulu Sirih-Pinang atau lintingan Tembakau yang dilakukan oleh seorang Tonaas dengan maksud agar dapat di izinkan memasuki goa atau wale watu hingga kembali nantinya tidak terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan . Wale Watu atau Goa Susuripen Opo Rumengan ini diperkirakan panjannya dari mulut goa hingga ke ujung gua sekitar kurang lebih berjarak 500 meter dengan keadaan gelap-gulitadan dinding goa terdiri dari bebatuan sampai ke ujung goa serta di kiri-kana dinding goa terdapat sumber mata air yang jernih yang biasanya sesuai tradisi masyarakat sekitar atau para Tonaas di pakai dalam keperluan pengobatan bagi orang yang sakit dan keperluan lainnya. Konon secara tradisi kepercayaan adat masyarakat sekitar bahwa bilamana memasuki wale watu atau goa susuripen tersebut tidak diperbolehkan rebut karena dapat terjadi hal hal yang tidak di inginkan seperti orang yang melanggar aturan tersebut bisa tidak kembali lagi atau mendapat pengajaran lainnya. Hal ini mengajarkan kepada kita bahwa sesunguhnya kita dapat menjaga unsur kesucian gua tersebut dan menandakan bahwa tempat tersebut tidak dengan sembarangan masuk tanpa taat terhadap aturan tradisi yang sudah disebutkan tadi . wale watu opo rumengan menurut keterangan warga masyarakat sekitar yang bercocok tanam di dekat area gua bahwa sangat angker dan menurut pengakuan mereka tidak sembarangan orang yang bisa masuk kecuali orang orang tertentu misalnya para tonaas dan pengikutnya dan misalnya dari jaman dulu sering para pelaku adat melakukan pertapahan di gua itu dengan suatu tujuan tertentu . para tonaas di sekitar gua susuripen tersebut biasanya setelah kembali pulang dari gua dengan membawa air dan benda benda lain yang terdapat di dalam untuk dipakai dalam kepentingan adat seperti yang sudah di sebut tadi WALE WATU OPO RUMENGAN atau GUA SUSURIPEN terletak di perkebunan kelurahan talete sekarang tepatnya di lereng gunung mahawu yang merupakan situs cagar budaya adalah warisan para leluhur  tou minahasa khususnya di tombulu atau tomohon sekarang yang sangat unik serta sangat potensial bagi kepariwisatawan sulut khususnya minahasa di tomohon karena bila dapat di kelola dengan baik oleh pemerintah dalam hal ini pemkot tomohon akan dapat menarik wisatawan untuk datang mengunjungi yang sudah tentu mendapat pemasukan pendapatan kota tomohon jadi hal ini merupakan salah satu asset kepariwisatawan yang ada di tomohon namun sayangnya kenapa pemerintah setempat sampai saat ini belum dapat mencover atau mendatakan situs tersebut padahal sangat sangat POTENSIAL dan merupakan ASET sejarah tou minahasa khususnya di tombulu yang seharusnya di lestarikan . Wale Watu Opo Rumengan tidak kalah bedah dengan gua maharani yang ada di kabupaten tuban jawa timur yang sangat terkenal, unik dan punya nilai sejarah daerah itu dan benar-benar mendapat perhatian serius pemerintah disana dan sangat menghipnotis para wisatawan datang hanya melihat keindahan gua tersebut. Hal ini benar-benar mendapat pemasukan khas daerah tuban melalui dinas pariwisata dan budaya setiap tahunnya. Jadi kiranya pemerintah dapat mengambil contoh daerah lain seperti yang sudah disebutkan tadi dan bila ini diwujudkan tidak menutup kemungkinan Tomohon lebih dikenal khususnya disektor pariwisata dan menambah pemasukan khas daerah tentu demikian sekilas mengenai Wale Watu Opo Rumengan di gunung mahawu. Semoga kita mendapat hikmah dan berbenah bukan hanya pemerintah tetapi juga kita sebagai masyarakat yang harus ikut berjuang membatu demi kelestarian adat dan budaya Tou Minahasa.

ARTI GAMBAR-GAMBAR DI WATU PINAWETENGAN

Nilai sakral Watu Pinawetengan tidak akan hilang didalam hati dan pikiran orang Minahasa di Minahasa dan diluar Minahasa,karena walaupun batu itu dipecahkan dan ditimbun seperti keadaannya sebelum tahun1888, dilokasi inilah lahir persatuan antara Subetnis TOU MINAHASA (orang Minahasa) sebuahkata yang berarti “Mina” (menjadi) “Esa” (satu) yang terbentuk melalui proses waktu yang panjang selama berabad-abad, bahkan kemudian masih terus dikukuhkan lagi pada abad ke-14, karena Sub-etnis Minahasa yang sudah semakin banyak JKumlahnya dengan tambahan Sub-etnis minoritas.
Arti Gambar dan garis-garis di Watu Pinawetengan bukan huruf , tapi gambaran mengenai manusia pertama Minahasa dengan perobahannya, Wilayah pemukiman dan bentuk perkampungan, kelas lapisan masyarakat, sistem pemerintahan yang tidak berpusat pada lokasi tertentu, mata pencaharian berburu sampai bercocok tanam, dan sebagainya.

Gambar Tanaman Merambat dengan alat pengikat berupa kacang-kacangan dan tongkatuntuk membuat lobangtempat memasukkan biji-bijian

Tiga gambar manusia ( KAREMA, LUMIMUUT, dan TOAR (waktu masih bayi) terdapat dipermukaan atas batu

Sembilan batang lidi dari ijuk pohon enau, menunjukkan jumlah bayi burng manguni, untuk mensahkan sebuah keputusan oleh dewa MUNTU-UNTU

Jerat penangkap babi hutan atau babi rusa, bulatan dengan dua titik adalah gambar hidung babi dengan dua lobang hidung. Dua garis patah sebelah kiri dan kanan adalah pagar penghalang yang semakin menyempit, dimana hewan liar dihalau dan diusir ke arah masuk perangkap.

Musim menangkap babi hutan dan babi rusa

KAREMA sebagai dewi binatang (karema = binatang-binatang) dalam bentuk sebuah meteor berekor panjang.Banyak meteor yang melewati bumi, diantaranyayang paling terang cahayanya adalah komet Helley. Memberi tanda akan ada kejadian besar yang akan terjadi.

Gambar untuk wanita sebagai dewi kesuburan yang merupakan tahap kelanjutan dari dewi bumi (Lumimuut) yang mungkin dewi padi “Lingkan Wene” Disebelahnya simbol dewi padiberbentuk gambar padi yang memiliki dua mata.

Ikan Pari ( Nyoa )menandakan musim menanam

Memasang Perangkap babi hutan

Tiga gambar manusia ini terdapat di sebelah barat batu bagian bawah, Dewi Karema, Dewi Lumimuut, dan Dewa Toar. Memakai jubah atau penutup badan dari daun-daunan, karena 1000 tahun sebelummasehi masa Glasial belum berahir dan cuaca lebih dingin dari sekarang ini.

Gambar ini berarti Pintu Masuk lokasi tempat pemukiman

Satu-satunya gambar manusia yang dilihat dari samping nampaknya gambar wanita. Karena berambut tebaldan tidak ada hubungan dengan bentuk padi, berarti bukan dewiLingkan-wene abad ke-9. Kemungkinan besar adalah istri MUNTU-UNTU KUMOKOMBA pada abad ke-7 yang bernama RINUNTUNAN. Di Kukuhkan melalui gambar watu Pinawetengan sebagai Dewi Kesuburan, kepala golongan agama suku diseluruh Sulawesi Utara, karena pada abad ke-7 Mangondouw dan Sangihe Talaud belum bernama seperti itu, dan masih termasuk Minahasa.

Gambar dua manusia TOAR (kiri) dan LUMIMUUT (kanan) betuk manusia disebelah baratbatu bagian samping, sangat mirip dengan bentuk gambar manusia yang ada di Goa alam ANGANO Philipina Selatan yang berasal dari masa 3000 tahun lalu.

Lokasi Rumah Tonaas Wangko dewa MUNTU-UNTU, terlihat seperti atap dari arah depan

Tiga gambar diatas adalah yang paling atas, gambar ikan yang menunjukkan musim tertentu atau pembahagian wilayah penangkapan ikan di sungai danau dan laut, Sedangkan yang ditengah adalah gambar ekor lipan atau “kaki saribu” disebut KAMA dan yang berbentuk penjepit adalah simbol dari KAREMA. Simbol saat-saat menebang pohon membuka hutan adalah untuk dijadikan tempat pertanian atau pemukiman. Yang di bawah adalah Gambar kalung leher yang telah dikenalterbuat dari kulit kerang air Tawar ditemukan di tepi danau “Wulilin” Tombatu berusia 3000 tahun lalu. Abad pertama kalung-kalung dari india telah sampai ke Sulawesi Utara.

Hari Kasih Sayang(Valentine)

Sebentar lagi kita akan tiba pada tanggal 14 Februari, dimana para anak-anak muda yang punya pacar akan menerima bingkisan berupa cokelat ataupun boneka dari kekasih mereka, mereka menyebutnya dengan Hari Valentine. Yang mungkin tidak diketahui oleh mereka adalah sejarah dari Hari Valentine yang tak lepas dari seorang teolog Gnostik Kristen yang paling terkenal dan berpengaruh pada masanya bernama Valentinius, atau ada juga yang menyebutnya Santo Valentinus. Semasa hidupnya, ajaran tentang Cinta Kasih Kristianinya banyak ditentang oleh pemuka agama Kristen pada saat itu.

Sebelum abad ke-14, Hari Raya Santo Valentinus tidak pernah dihubungkan dengan hari kasih sayang atau semacamnya. Nah, baru pada abad ke-14 tersebut, 14 Februari dipercaya sebagai hari dimana burung-burung mencari pasangannya untuk kawin. Pada abad ini orang-orang mulai terbiasa memberi kartu ucapan Valentine kepada orang yang mereka cintai. Cerita-cerita tentang Hari Valentine juga tercipta di abad ini, salah satu yang terkenal adalah saat Santo Valentinus akan gugur sebagai martir (orang suci dalam ajaran Katolik), ia menulis sebuah pernyataan cinta kecil yang diberikannya kepada sipir penjaranya yang tertulis, “Dari Valentinusmu”. Cerita ini sering dikaitkan dengan sejarah dari Hari Valentine tersebut.

Valentine. Hmm.. Entah mengapa hari itu bisa dikatakan sebagai hari kasih sayang. Menurut saya sendiri, sebenarnya tak ada salahnya kita menunjukkan rasa sayang kita kepada orang yang kita cintai, tapi apakah harus pada tanggal 14 Februari? (mungkin biar kompak kali ya?). Namun sekarang ini, perayaan Hari Valentine sepertinya memang telah diterima masyarakat diseluruh dunia. Di Jepang misalnya, meskipun bukan merupakan negara kristen, namun memberi cokelat kepada pasangannya merupakan suatu kewajiban pada tanggal tersebut. Atau di Indonesia, yang mayoritas adalah muslim, Hari Valentine telah dikenal bahkan dari anak kecil di sekolah dasar sudah sangat hafal tanggal dimana Hari Valentine dirayakan.

  

Hari Valentine (bahasa Inggris: Valentine’s Day) atau disebut juga Hari Kasih Sayang, pada tanggal 14 Februari adalah sebuah hari di mana para kekasih dan mereka yang sedang jatuh cinta menyatakan cintanya di Dunia Barat. Asal-muasalnya yang gelap sebagai sebuah hari raya Katolik Roma didiskusikan di artikel Santo Valentinus. Beberapa pembaca mungkin ingin membaca entri Valentinius pula. Hari raya ini tidak mungkin diasosiasikan dengan cinta yang romantis sebelum akhir Abad Pertengahan ketika konsep-konsep macam ini diciptakan.

Hari raya ini sekarang terutama diasosiasikan dengan para pencinta yang saling bertukaran notisi-notisi dalam bentuk “valentines”. Simbol modern Valentine antara lain termasuk sebuah kartu berbentuk hati dan gambar sebuah Cupido (Inggris: cupid) bersayap. Mulai abad ke-19, tradisi penulisan notisi pernyataan cinta mengawali produksi kartu ucapan secara massal. The Greeting Card Association (Asosiasi Kartu Ucapan AS) memperkirakan bahwa di seluruh dunia sekitar satu miliar kartu valentine dikirimkan per tahun.[1] Hal ini membuat hari raya ini merupakan hari raya terbesar kedua setelah Natal di mana kartu-kartu ucapan dikirimkan. Asosiasi yang sama ini juga memperkirakan bahwa para wanitalah yang membeli kurang lebih 85% dari semua kartu valentine.

Di Amerika Serikat mulai pada paruh kedua abad ke-20, tradisi bertukaran kartu diperluas dan termasuk pula pemberian segala macam hadiah, biasanya oleh pria kepada wanita. Hadiah-hadiahnya biasa berupa bunga mawar dan cokelat. Mulai tahun 1980-an, industri berlian mulai mempromosikan hari Valentine sebagai sebuah kesempatan untuk memberikan perhiasan.

Sebuah kencan pada hari Valentine seringkali dianggap bahwa pasangan yang sedang kencan terlibat dalam sebuah relasi serius. Sebenarnya Valentine itu merupakan hari Percintaan, bukan hanya kepada pacar ataupun kekasih, Valentine merupakan hari terbesar dalam soal Percintaan dan bukan berarti selain valentine tidak merasakan cinta.

Di Amerika Serikat hari raya ini lalu diasosiasikan dengan ucapan umum cinta platonik “Happy Valentine’s”, yang bisa diucapkan oleh pria kepada teman wanita mereka, ataupun, teman pria kepada teman prianya dan teman wanita kepada teman wanitanya.

Sejarah

Perayaan Kesuburan bulan Februari

Asosiasi pertengahan bulan Februari dengan cinta dan kesuburan sudah ada sejak dahulukala. Menurut tarikh kalender Athena kuno, periode antara pertengahan Januari dengan pertengahan Februari adalah bulan Gamelion, yang dipersembahkan kepada pernikahan suci Dewa Zeus dan Hera.

Di Roma kuno, 15 Februari adalah hari raya Lupercalia, sebuah perayaan Lupercus, dewa kesuburan, yang dilambangkan setengah telanjang dan berpakaian kulit kambing. Sebagai bagian dari ritual penyucian, para pendeta Lupercus meyembahkan korban kambing kepada sang dewa dan kemudian setelah minum anggur, mereka akan lari-lari di jejalanan kota Roma sembari membawa potongan-potongan kulit domba dan menyentuh siapa pun yang mereka jumpai. Terutama wanita-wanita muda akan maju secara sukarela karena percaya bahwa dengan itu mereka akan dikarunia kesuburan dan bisa melahirkan dengan mudah.

Hari Raya Gereja

Menurut Ensiklopedi Katolik (Catholic Encyclopaedia 1908)[2], nama Valentinus paling tidak bisa merujuk tiga martir atau santo (orang suci) yang berbeda:

Koneksi antara ketiga martir ini dengan hari raya cinta romantis tidak jelas. Bahkan Paus Gelasius I, pada tahun 496, menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada yang diketahui mengenai martir-martir ini namun hari 14 Februari ditetapkan sebagai hari raya peringatan santo Valentinus.[3] Ada yang mengatakan bahwa Paus Gelasius I sengaja menetapkan hal ini untuk mengungguli hari raya Lupercalia yang dirayakan pada tanggal 15 Februari.

Sisa-sisa kerangka yang digali dari makam Santo Hyppolytus dia Via Tibertinus dekat Roma, diidentifikasikan sebagai jenazah St. Valentinus. Kemudian ditaruh dalam sebuah peti emas dan dikirim ke gereja Whitefriar Street Carmelite Church di Dublin, Irlandia. Jenazah ini telah diberikan kepada mereka oleh Paus Gregorius XVI pada 1836. Banyak wisatawan sekarang yang berziarah ke gereja ini pada hari Valentine, di mana peti emas diarak-arak dalam sebuah prosesi khusyuk dan dibawa ke sebuah altar tinggi. Pada hari itu sebuah misa khusus diadakan dan dipersembahkan kepada para muda-mudi dan mereka yang sedang menjalin hubungan cinta.

Hari raya ini dihapus dari kalender gerejawi pada tahun 1969 sebagai bagian dari sebuah usaha yang lebih luas untuk menghapus santo-santa yang asal-muasalnya bisa dipertanyakan dan hanya berbasis legenda saja. Namun pesta ini masih dirayakan pada paroki-paroki tertentu.

Adapun sejarah dengan versi yang berbeda diantaranya:
  1. Sejarah Yang Pertama

Valentine adalah nama dari seorang pendeta yang hidup di Roma pada abad ke-III. Ia hidup di kerajaan yang saat itu dipimpin oleh Kaisar Claudius yang terkenal sangat kejam. Ya, Valentine sangat membenci Kaisar tersebut. Claudius sangat berambisi memiliki pasukan militer yang besar, ia ingin semua pria di kerajaannya bergabung di dalamya. Namun sayangnya keinginan ini kurang mendapat dukungan, dikarenakan pada saat itu kaum pria enggan terlibat dalam peperangan. Karena mereka tak ingin meninggalkan keluarga dan kekasih hatinya, hal ini membuat Claudius marah besar. Dia segera memerintahkan pejabatnya untuk melakukan sebuah ide gila.

Saat itu Claudius berfikir bahwa jika pria tidak menikah, maka dengan senang hati mereka akan bergabung dengan militer. Lalu disaat itu juga Claudius melarang adanya pernikahan, dengan harapan pasangan muda saat itu menganggap keputusan ini sangat tidak masuk akal. Namun lagi-lagi usaha keji Claudius digagalkan oleh St. Valentine, saat itu Valentine menolak untuk melaksanakan aksi gila sang Kaisar. Tanpa rasa takut Valentine tetap melaksanakan tugasnya sebagai pendeta, yaitu menikahkan para pasangan yang tengah jatuh cinta meskipun ritual ini dilakukan secara rahasia. Akan tetapi Claudius mencium adanya suatu pembrontakan dan sang Kaisar pun langsung memberikan peringatan keras terhadap Valentine. Namun lagi-lagi usaha sang Kaisar tidak membuahkan hasil, St. Valentine sama sekali tidak menggubris peringatan tersebut dan tetap memberkati pernikahan dalam sebuah kapel kecil yang hanya diterangi oleh cahaya lilin.

Sampai pada suatu malam, Valentine tertangkap basah oleh sang Kaisar ketika dia tengah memberkati salah satu pasangan yang akan melangsungkan pernikahan. Saat itu Claudius benar-benar sangat murka terhadap Valentine. Lalu sang Kaisar memerintahkan salah seorang prajuritnya untuk menangkap Valentine, namun pasangan yang tengah diberkati tersebut berhasil lolos dan melarikan diri. Hingga pada akhirnya Valentine dijebloskan ke dalam penjara dan divonis hukuman mati dengan cara dipenggal kepalanya. Bukannya dihina oleh orang-orang, St. Valentine malah dikunjungi banyak orang yang mendukung aksinya itu. Mereka melemparkan bunga dan pesan berisi dukungan di jendela penjara dimana dia ditahan.

Salah satu dari orang-orang yang percaya pada cinta kasih itu adalah putri penjaga penjara sendiri. Sang ayah mengijinkan putrinya untuk mengunjungi St. Valentine. Tak jarang mereka berbicara lama sekali. Gadis itu menumbuhkan kembali semangat sang pendeta. Ia setuju bahwa St. Valentine telah melakukan hal yang benar alias benul eh betul. Pada hari saat ia dipenggal alias dipancung kepalanya, yakni tanggal 14 Februari gak tahu tahun berapa, St. Valentine menyempatkan diri menuliskan sebuah pesan untuk gadis putri sipir penjara tadi, ia menuliskan Dengan Cinta dari Valentinemu. Pesan itulah yang kemudian mengubah segalanya. Kini setiap tanggal 14 Februari orang di berbagai belahan dunia merayakannya sebagai hari kasih sayang. Orang-orang yang merayakan hari itu mengingat St. Valentine sebagai pejuang cinta, sementara kaisar Claudius dikenang sebagai seseorang yang berusaha mengenyahkan cinta.

2.Sejarah Valentine Yang Kedua

Catatan pertama dihubungkannya hari raya Santo Valentinus dengan cinta romantis adalah pada abad ke-14 di Inggris dan Perancis, yang dimana dipercayai bahwa tanggal 14 Februari adalah hari dimana ketika burung sedang bermusim mencari pasangan untuk kimpoi. Kepercayaan ini ditulis pada karya sastrawan Inggris Pertengahan bernama Geoffrey Chaucer. Didalam ceritanya, Ia menulis sebuah kalimat “Parlement of Foules” (Percakapan Burung-Burung) yang didalamnya terkandung kalimat ” For this was sent on Seynt Valentyne’s day ” (Bahwa inilah dikirim pada hari Santo Valentinus). Whan every foul cometh ther to choose his mate (Saat semua burung datang ke sana untuk memilih pasangannya).

Di zaman tersebut, saling bertukaran catatan pada hari valentine dan memanggil pasangan Valentine mereka adalah suatu hal yang lazim bagi mereka yang saling mencintai. Sebuah kartu Valentine yang berasal dari abad ke-14 konon merupakan bagian dari koleksi naskah British Library di London, yang kemungkinan besar banyak legenda-legenda mengenai Santo Valentinus diciptakan pada zaman sekarang ini. Dan beberapa di antaranya bercerita bahwa sore hari sebelum Santo Valentinus bertemu dengan ajalnya sebagai seorang yang martir (mati syahid), ia telah menuliskan sebuah pernyataan cinta kecil yang diberikannya kepada sipir penjaranya yang tertulis “Dari Valentinusmu”. Ketika serdadu Romawi dilarang menikah oleh Kaisar Claudius II, Santo Valentinus secara rahasia membantu menikahkan mereka diam-diam.

3.Sejarah Valentine Yang Ketiga

Menurut Tarikh kalender Athena kuno, periode antara pertengahan Januari dengan pertengahan Februari adalah bulan Gamelion. Bulan Gamelion adalah bulan yang dimana pada saat itu berlangsungnya pernikahan suci Dewa Zeus dan Hera. Pada zaman Romawi kuno, tanggal 15 Februari adalah tanggal yang dikenal sebagai hari raya Lupercalia. Sebuah perayaan Lupercus, Dewa kesuburan, yang dilambangkan setengah telanjang dan berpakaian kulit kambing. Perayaan tersebut bertujuan sebagai ritual penyucian, yang dimana para Pendeta Lupercus akan mempersembahkan korban sembelihan kambing kepada Dewa. Setelah meminum anggur, mereka akan berlari-lari disekitar jalanan kota Roma sambil membawa potongan kulit domba dan menyentuh siapa pun yang mereka jumpai dijalan. Sebagian ahli sejarah mengatakan ini sebagai salah satu sebab cikal bakal Hari Valentine.

  •   Valentinus

Santo Valentinus merujuk kepada satu dari minimal tiga orang suci (santo) martir Roma Kuno. Pesta Santo Valentinus sebelumnya dirayakan oleh Gereja Katolik Roma pada 14 Februari sampai tahun 1969.

Pesta St. Valentinus pertama kali diputuskan pada 496 oleh Paus Gelasius I, yang juga memasukkan Santo George di antara mereka “…yang namanya secara benar dihormati manusia tetapi di mana perbuatan mereka hanya diketahui oleh Tuhan.” Dibuatnya pesta ini kemungkinan merupakan sebuah usaha untuk mengungguli hari raya pra-Kristen, Lupercalia yang masih diperingati di Roma pada abad ke-5.

Menurut Ensiklopedia Katolik, santo yang hari rayanya diperingati pada hari yang sekarang disebut Hari Valentine kemungkinan adalah salah satu dari tiga orang martir yang hidup pada akhir abad ke-3 semasa pemerintahan Kaisar Claudius II:

Dipercayai bahwa sang pastur dan uskup Valentinus dimakamkan sepanjang Via Flaminia di luar kota Roma, pada jarak yang berbeda dari tengah kota. Pada abad ke-12, gerbang kota Romawi yang disebut Porta Flaminia (sekarang Porta del Popolo) juga disebut sebagai Gerbang St. Valentinus.

Seperti dikatakan oleh Paus Gelasius II, sebenarnya tidak ada yang diketahui mengenai martir-martir ini. Banyak legenda yang mengelilingi mereka sebenarnya diciptakan pada akhir Abad Pertengahan di Inggris dan Perancis, di mana pesta perayaan pada tanggal 14 Februari diasosiasikan dengan cinta. Sentimen semacam ini tidak ada sama sekali di kitab Legenda Emas Jacobus de Voragine, yang disusun pada kurang lebih tahun 1260 dan merupakan salah satu buku yang paling banyak dibaca pada akhir Abad Pertengahan. Buku ini sangatlah lengkap dalam memberi informasi setiap santo dan santa untuk setiap hari pada tahun kalender gerejawi sebagai ilham homili setiap misa. Di vita (riwayat hidup) St Valentinus yang sangat singkat, tertulis bahwa ia menolak untuk menangkal Yesus Kristus di depan “Kaisar Claudius” pada tahun 280. Sebelum kepalanya dipenggal, Valentinus mengembalikan penglihatan dan pendengaran sipir penjaranya. Lalu Jacobus mereka-mereka etimologi nama “Valentinus,” sebagai “sesuatu yang mengandung keberanian (Latin: valor)”, namun tidak ada tanda-tanda hati dan pesan-pesan yang ditanda tangani yang “diberi oleh Valentine-mu,” seperti kadangkala disugestikan dalam karya-karya modern kesucian sentimental [1].

Sisa-sisa kerangka yang digali dari makam Santo Hyppolytus dia Via Tibertinus dekat Roma, diidentifikasikan sebagai jenazah St. Valentinus. Kemudian ditaruh dalam sebuah peti emas dan dikirim ke gereja Whitefriar Street Carmelite Church di Dublin, Irlandia. Jenazah ini telah diberikan kepada mereka oleh Paus Gregorius XVI pada 1836. Banyak wisatawan sekarang yang berziarah ke gereja ini pada hari Valentine, di mana peti emas diarak-arak dalam sebuah prosesi khusyuk dan dibawa ke sebuah altar tinggi. Pada hari itu sebuah misa khusus diadakan dan dipersembahkan kepada para muda-mudi dan mereka yang sedang menjalin hubungan cinta.

Hari raya ini dihapus dari kalender gerejawi pada tahun 1969 sebagai bagian dari sebuah usaha yang lebih luas untuk menghapus santo-santa yang asal-muasalnya bisa dipertanyakan dan hanya berbasis legenda saja. Namun pesta ini masih dirayakan pada paroki-paroki tertentu.

ASAL MUASAL DI TEMUKANYA PERKAMPUNGAN BARU KINASKAS ATAU SEKARANG KAKASKASEN

Pada zaman dahulu kehidupan keturunan Pinontoan masih hidup dalam berkelompok yang waktu itu berdiam di sekitar Gunung Lokon, pada waktu salah satu leluhur keturunan dari Pinontoan ditugaskan untuk menebang kayu di daerah yang namanya  Pahzahapen , Ketika sedang menebang kayu tiba – tiba mata kampak tamako tersebut terlepas dan terlempar, saat terlempar leluhur tersebut sempat terperosok jatuh dan Tanah di sekitar pohon yang du tebang tadi terbongkat akibat benturan jatuhnya leluhur  tadi. Tanah yang terbongkar  dalam Bahasa Tombulu  Nawuswus  jadi leluhur tadi nekawuswus.  Tanah tadi terbongkar dan jatuh sehingga sampai sekarang daerah ini di namakan kebun  Nawuswus karena belum selesai menebang pohon tadi Leluhur mencari mata kampak yang melayang tadi di sekitar daerah di mana pohon tadi di tebang sampai ke wilayah yang namanya kebun  SARANG. Pada saat leluhur tai mencari dengan menggaruk-garuk mahkaskas dengan tangannya tiba-tiba tanah tersebut mengeluarkan mata air bahasa  tombulu kembuan, mata air yang keluar itu benar-benar bersih dan jernih. Dan lama kelamaan mata air tersebut semakin banyak saja keluarnya. Dari peristiwa inilah maka leluhur tadi memberitahukan kepada saudara-saudaranya. Dan ketika itu pula para leluhur langsung berangkat menuju lokasi yang ditemukan air tadi dan akhirnya mereka memili untuk tinggal disekitar tempat ini yang sekarang disebut kebun Sarang. Dan lama kelamaan semakin bertambah pula keturunan Pinontoan yang menempati wilaya tempat itu dan akhirnya menjadi suatu perkampungan kecil. Perkampungan ini sampai sekarang dinamakan kampung tua bahasa tombulu”Nawanua kinaskas” atau kampung pertama di wilaya kinaskas atau Kakaskasen sekarang. Kampung ini sekarang berada di dekat atau kurang lebih 500m dari kompleks pekuburan waruga mengarah ke timur yang sekarang berlokasi yang sekarang namanya kebun Sarang tepatnya dibelakang Karmel kakaskasen III yang berjarak 500m kearah selatan. Disekitar kampung tua inilah atau kebun sarang yang merupakan kehidupan dahulu para leluhur Pinontoan dan disekitar tempat ini terdapat yang namanya  3 batu baku dapa atau 3 batu saling ketemu dalam bahasa tombulu WATU PAHSARUEN NI EMPUNG. Dan sampai saat sekarang banyak terdapat bukti-bukti sisa dari kehidupan peninggalan leluhur zaman dahulu berupa Batu-Batu Tumotowa dan Kure-Kure tanah yang kondisi ada yang utuh maupun yang sudah berbentuk pecahan, begitu pula dengan pecahan-pecahan piring yang tebuat dari kramik di zaman Dinasti Cina. Selain dari pada waruga-waruga juga yang merupan pekuburan yang berada tidak jauh dari kompleks perkampungan tua ini karena disekitar wilaya perkampungan tua ini terdapat bahan atau tanah pembuatan Waruga yaitu yang namanya tanah t’ras dan tanah liat yang merupakan bahan pembuat kure pada waktu itu. Dan perkampungan perkembangan dari kehidupan leluhur di masa itu lambat laun semakin meluas sampai saat sekarang sudah terbagi menjadi 4 kelurahan. Sebenarnya sebelum terdapat kampung tua Nawanua sudah ada suatu komunitas atau kelompok dari para leluhur yang merupakan keturunan Pinontoan sebagai penguasa di gunung Lokon waktu itu yakni didaerah yang namanya ‘’kinilow’’ yang asal kata dari kilow-kilow kinilow = sekarang Kilow. Dan kilow-kilow merupakan nama pohon yang satu-satunya berada dikampung ini dan merupakan pohon terbesar yang biasanya ditempati oleh burung yang namanya kilow-kilow sehingga dinakan kilow-kilow. Dan sampai saat sekarang kita bisa melihat bukti adanya pohon yang besar sekali itu atau pohon kilow-kilow masih hidup dan tumbuh besar. Dan menurut cerita batas perkampungan kiliow-kilow = Kinilow ini yang juga merupakan perkampungan tua atau nawanua kinaskas kakaskasen maupun di wilaya Tombulu serta luasnya mulai dari kakaskasen III sampai ke kakaskasen I sekarang. Jadi kalau diamati perkampungan pertama kali ada sebelum adanya dan ditemukan perkampungan kinaskas nawanua di kakaskasen. Jadi sebenarnya perkampungan yang tertua dan pertama kali ada di yang namanya kilow-kilow atau sekarang kinilow. Dan perkampungan kilow-kilow ini sampai sekarang sudah meluas hingga terbagi 2 wilaya yakni kinilow 1 dan kinilow 2. Jadi setelah ditemukan perkampungan yang baru yang terdapat diwllaya kinaskas atau asal kata mahkaskas = Menggali / digali dengan tangan yang sekarang dinamakan kampung tua nawanua kakaskasen. Maka leluhur yang ada di wilaya kinilow dan kakaskasen membuat batas wilaya antara kinilow dan kinaskas kakaskasen.

Akhirnya sebenarnya atau satu kelompok komunitas Pinontoan ini terpecah menjadi 2 kelompok dan 2 wilaya pula yakni pertama tadi kiniolow dan kinaskas atau sekarang kakaskasen. Sehingga sampai sekarang kedua kelompok yang berasal dari satu kelompok Pinontoan dari satu wilaya yang bernama kilow-kilow atau kinilow sekarang dan kinaskas nawanua atau kakaskasen. Demikianlah asal mulanya terdapat perkampungan pertama kali di wilaya kakaskasen yang namanya berkampung tua “nawanua” atau sekarang kakaskasen.

SEJARAH IMLEK DAN BARONGSAI

Tahun Baru Imlek merupakan perayaan terpenting orang Tionghoa. Perayaan tahun baru imlek dimulai di hari pertama bulan pertama (Chinese: pinyin: zhēng yuè) di penaggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh di tanggal kelima belas (pada saat bulan purnama). Malam tahun baru imlek dikenal sebagai Chúxī yang berarti “malam pergantian tahun”. Di Tiongkok, adat dan tradisi wilayah yang berkaitan dengan perayaan Tahun Baru Cina sangat beragam. Namun, kesemuanya banyak berbagi tema umum seperti perjamuan makan malam pada malam Tahun Baru, serta penyulutan kembang api. Meskipun penanggalan Cina secara tradisional tidak menggunakan nomor tahun malar, penanggalan Tionghoa di luar Tiongkok seringkali dinomori dari pemerintahan Huangdi. Setidaknya sekarang ada tiga tahun berangka 1 yang digunakan oleh berbagai ahli, sehingga pada tahun 2009 masehi “Tahun Tionghoa” dapat jadi tahun 4707, 4706, atau 4646. Dirayakan di daerah dengan populasi suku Tionghoa, Tahun Baru Imlek dianggap sebagai hari libur besar untuk orang Tionghoa dan memiliki pengaruh pada perayaan tahun baru di tetangga geografis Tiongkok, serta budaya yang dengannya orang Tionghoa berinteraksi meluas. Ini termasuk Korea, Mongolia, Nepal, Bhutan, Vietnam, dan Jepang (sebelum 1873). Di Daratan Tiongkok, Hong Kong, Macau, Taiwan, Singapura, Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan negara-negara lain atau daerah dengan populasi Han Cina yang signifikan, Tahun Baru Cina juga dirayakan, dan pada berbagai derajat, telah menjadi bagian dari budaya tradisional dari negara-negara tersebut. Tanggal perayaan tahun baru imlek Kalender lunisolar Tionghoa menentukan tanggal Tahun Baru Cina. Kalender tersebut juga digunakan di negara-negara yang telah mengangkat atau telah dipengaruhi oleh budaya Han (terutama di Korea, Jepang, dan Vietnam) dan mungkin memiliki asal yang serupa dengan perayaan Tahun Baru di luar Asia Timur (seperti Iran, dan pada zaman dahulu kala, daratan Bulgar). Dalam kalender Gregorian, Tahun Baru Cina jatuh pada tanggal yang berbeda setiap tahunnya, antara tanggal 21 Januari sampai 20 Februari. Dalam kalender Tionghoa, titik balik mentari musim dingin harus terjadi di bulan 11, yang berarti Tahun Baru Cina biasanya jatuh pada bulan baru kedua setelah titik balik mentari musim dingin (dan kadang yang ketiga jika pada tahun itu ada bulan kabisat). Di budaya tradisional di Cina, lichun adalah waktu solar yang menandai dimulainya musim semi, yang terjadi sekitar 4 Februari. Tanggal untuk Tahun Baru Cina dari 1996 sampai 2019 (dalam penanggalan Gregorian) dapat dilihat di tabel di atas, bersamaan dengan shio hewan untuk tahun itu dan cabang duniawinya. Bersamaan dengan daur 12-tahun masing-masing dengan shio hewan ada daur 10-tahun batang surgawi. Setiap surgawi dikaitkan dengan salah satu dari lima elemen perbintangan Cina, yaitu: Kayu, Api, Bumi, Logam, dan Air. Unsur-unsur tersebut diputar setiap dua tahun sekali sementara perkaitan yin dan yang silih berganti setiap tahun. Unsur-unsur tersbut dengan itu dibedakan menjadi: Kayu Yang, Kayu Yin, Api Yang, Api Yin, dan seterusnya. Hal ini menghasilkan sebuah daur gabungan yang berulang setiap 60 tahun. Sebagai contoh, tahun dari Tikus Api Yang terjadi pada 1936 dan pada tahun 1996. Banyak orang mengacaukan tahun kelahiran Tionghoa dengan dengan tahun kelahiran Gregorian mereka. Karena Tahun Baru Cina dapat dimulai pada akhir Januari sampai pertengahan Februari, tahun Tionghoa dari 1 Januari sampai hari imlek di tahun baru Gregorian tetap tidak berubah dari tahun sebelumnya. Sebagai contoh, tahun ular 1989 mulai pada 6 Februari 1989. Tahun 1990 dianggap oleh beberapa orang sebagai tahun kuda. Namun, tahun ular 1989 secara resmi berakhir pada 26 Januari 1990. Ini berarti bahwa barang siapa yang lahir dari 1 Januari ke 25 Januari 1990 sebenarnya lahir pada tahun ular alih-alih tahun kuda.
hewan Cabang bumi Tanggal Tikus zo 19 Februari 1996 7 Februari 2008 Sapi chou 7 Februari 1997 26 Januari 2009 Macan yín 28 Januari 1998 14 Februari 2010 Kelinci mao 16 Februari 1999 3 Februari 2011 Naga chén 5 Februari 2000 23 Januari 2012 Ular sì 24 Januari 2001 10 Februari 2013 Kuda wu 12 Februari 2002 31 Januari 2014 Kambing wèi 1 Februari 2003 19 Februari 2015 Monyet shēn 22 Januari 2004 8 Februari 2016 Ayam you 9 Februari 2005 28 Januari 2017 Anjing xū 29 Januari 2006 16 Februari 2018 Babi hài 18 Februari 2007 5 Februari 2019 Sejarah Imlek Sebelum Dinasti Qin, tanggal perayaan permulaan sesuatu tahun masih belum jelas. Ada kemungkinan bahwa awal tahun bermula pada bulan 1 semasa Dinasti Xia, bulan 12 semasa Dinasti Shang, dan bulan 11 semasa Dinasti Zhou di China. Bulan kabisat yang dipakai untuk memastikan kalendar Tionghoa sejalan dengan edaran mengelilingi matahari, selalu ditambah setelah bulan 12 sejak Dinasti Shang (menurut catatan tulang ramalan) dan Zhou (menurut Sima Qian). Kaisar pertama China Qin Shi Huang menukar dan menetapkan bahwa tahun tionghoa berawal di bulan 10 pada 221 SM. Pada 104 SM, Kaisar Wu yang memerintah sewaktu Dinasti Han menetapkan bulan 1 sebagai awal tahun sampai sekarang. Mitos Imlek Menurut legenda, dahulu kala, Nián adalah seekor raksasa pemakan manusia dari pegunungan (atau dalam ragam hikayat lain, dari bawah laut), yang muncul di akhir musim dingin untuk memakan hasil panen, ternak dan bahkan penduduk desa. Untuk melindungi diri merka, para penduduk menaruh makanan di depan pintu mereka pada awal tahun. DIpercaya bahwa melakukan hal itu Nian akan memakan makanan yang telah mereka siapkan dan tidak akan menyerang orang atau mencuri ternak dan hasil Panen. Pada suatu waktu, penduduk melihat bahwa Nian lari ketakutan setelah bertemu dengan seorang anak kecil yang mengenakan pakaian berwarna merah. Penduduk kemudian percaya bahwa Nian takut akan warna merah, sehingga setiap kali tahun baru akan datang, para penduduk akan menggantungkan lentera dan gulungan kerta merah di jendela dan pintu. Mereka juga menggunakan kembang api untuk menakuti Nian. Adat-adat pengurisan Nian ini kemudian berkempang menjadi perayaan Tahun Baru. Guò nián, yang berarti “menyambut tahun baru”, secara harafiah berarti “mengusir Nian”.Sejak saat itu, Nian tidak pernah datang kembali ke desa. Nian pada akhirnya ditangk oleh atau Hongjun Laozu, seorang Pendeta Tao dan Nian kemudian menjadi kendaraan Honjun Laodan Nian kemudian menjadi kendaraan Honjun Laozu.

Tradisi Yang berhubungan dengan perayaan Imlek Petasan/Mercon dan tarian singa/Barongsai Mercon/petasan dan tarian singa bersinonim dengan sambutan perayaan Tahun baru China. Mercon dimainkan untuk menghalau makhluk jahat yang sering menganggu ketenteraman manusia. Namun begitu, dari satu tahun ke tahun yaang lain, mercon sering dimainkan untuk menandakan musim perayaan yang akan tiba. Tarian singa adalah persembahan tarian yang penuh dengan kesenian dan menjadi simbol yang menakjubkan bagi masyarakat China. Biasanya ia dimainkan oleh dua pemain, dan memakan waktu yang lama untuk berlatih sebelum seseorang itu benar-benar mahir.
Angpau Antara sebab mengapa Tahun Baru China dinanti-nantikan oleh kanak-kanak ialah pemberian ‘angpau’ atau sampul merah yang berisi duit. Bagi yang belum menikah, mereka layak untuk menerima angpau. Pemberian wang atau angpau ini adalah untuk mengucapkan selamat bagi tahun tersebut dan berharap memperolehi kekayaan dan nasib yang baik untuk tahun tersebut. Wang tersebut juga boleh digunakan untuk membayar hutang yang tertunggak.

Jeruk Kebiasaannya bagi orang China, mereka akan membawa satu tas yang berisi jeruk dan angpau yang akan diberikan apabila melawat kawan dan keluarga sepanjang dua minggu sambutan Tahun Baru China. Mengikut kepercayaan orang China, jeruk yang masih mempunyai daun terlekat padanya membawa maksud hubungan seseorang dengan yang lain akan erat terjalin. Manakala bagi yang baru Kimpoi, ini melambangkan hubungan perkimpoian yang terjalin akan mekar sehingga mendapat anak yang ramai. Jeruk adalah lambang kepada kegembiraan bagi masyarakat orang China. Ikan bandeng dalam tradisi Imlek Ikan dalam tradisi Cina memang sangat penting. Konon kata ikan dalam bahasa Mandarin yang dilafalkan dengan ucapan “yu”, mirip dengan kata lain yang berarti berlimpah. Tak heran kalau dalam setiap jamuan makan besar ala tradisi Cina, hidangan ikan selalu ditampilkan di akhir jamuan, sebagai perlambang semoga rejeki dimasa-masa mendatang datang dengan berlimpah. Biasanya ikan disajikan utuh dengan kepala hingga ekor. Kepalanya seringkali diarahkan kepada tamu kehormatan yang hadir dalam jamuan itu. Bilamana anda hadir dalam sebuah jamuan makan besar, jangan anda tersinggung, apabila kepala ikan diberikan kepada anda. Karena sesungguhnya itulah penghormatan yang tertinggi, dimana anda dianggap sebagai tamu kehormatan. Kantong Manisan Kantong manisan ada yang berbentuk bulat atau segi mempunyai pelbagai jenis manisan agar Tahun Baru dimulakan dengan penuh ‘kemanisan’. Setiap manisan dalam kantong melambangkan tuah yang tersendiri: * manisan tembikai – melambangkan pertumbuhan dan kesihatan yang baik * kuaci – malambangkan kegembiraan, kebenaran dan kejujuran * butir leci – melambangkan ikatan kekeluargaan yang erat * kumkuat (sejenis jeruk) – kekayaan * manisan kelapa – keakraban * kacang tanah – kehidupan berkekalan * longan – melambangkan seseorang akan memperoleh banyak anak lelaki yang baik * buah teratai – banyak anak Hiasan Tahun Baru China Sebelum sambutan Tahun Baru China, keluarga Cina akan menghias rumah dengan pasu-pasu berisi bunga yang sedang mekar berkembang, kantong-kantong berisi jeruk, dan juga kantong berisi 8 jenis buah kering yang manis. Di dinding dan pintu pula akan digantung dengan hiasan indah seperti puisi dan ucapan tahun baru yang dilukis di atas kertas merah.

Kalender Lunar Cina Kalender lunar China merupakan kalendar yang tertua di dunia, digunakan sejak 2600 Sebelum Masihi. Pengggunaan kalender ini diperkenalkan oleh maharaja Huang Ti. Seperti kalender barat, kalender lunar China juga berdasarkan pergantian tahunan yang mana permulaan tahun dimula berdasarkan pergantian bulan. Oleh sebab itu, permulaan tahun bagi kalender China jatuh di sekitar bulan Januari dan Februari. Satu putaran lengkap bulan mengelilingi bumi memakan masa selama 60 tahun dan terdiri daripada 5 putaran yang setiap satunya memakan masa selama 12 tahun. Kalendar lunar China menamakan setiap tahun berdasarkan 12 binatang. Masyarakat China percaya bahawa setiap manusia yang lahir mempunyai pengaruh terhadap personaliti dan sikap berdasarkan binatang yang dinamakan pada tahun manusia tersebut dilahirkan.

Kebersihan dan penampilan diri Pada hari tahun baru, dilarang sama sekali mencuci rambut, karena perlakuan ini akan mengakibatkan orang tersebut mambasuh pergi segala nasib baik untuk tahun baru itu. Pakaian merah digalakkan untuk dipakai. Merah dianggap warna cerah dan terang, yang memungkinkan pemakainya memperolehi masa depan yang terang. Dipercayai bahawa, cara pemakaian pada tahun baru menentukan nasib seseorang itu pada tahun tersebut. Kanak-kanak, saudara-dekat dan orang yang belum menikah diberi angpau untuk masa depan yang cerah.

kenapa setiap imlek masyarakat tionghoa sangat menunggu datangnya hujan? karna hujan menurut mererka adalah sumber rejeki, untuk di indonesia mungkin susah di liat kenapa hujan menurut mereka sumber rejeki, sejarahnya di china sana, orang orang pada saat imlek menunggu hujan untuk dapat kembali bercocok tanam, karena hari raya imlek itu awal musim semi datang di daratan china, jadi dengan turunnya hujan, maka tanah menjadi gembur dan mereka bisa bercocok tanam lagi, dan mendapatkan hasil yang melimpah, itulah yang menyebabkan sampe sekarang di bilang imlek itu harus hujan, karena sejarah nya seperti itu. sumber1 sumber2 sumber3 sumber4

BARONGSAI.
Kesenian Barongsai mulai populer di zaman dinasti Selatan-Utara (Nan Bei) tahun 420-589 Masehi. Kala itu pasukan dari raja Song Wen Di kewalahan menghadapi serangan pasukan gajah raja Fan Yang dari negeri Lin Yi. Seorang panglima perang bernama Zhong Que membuat tiruan boneka singa untuk mengusir pasukan raja Fan itu. Ternyata upaya itu sukses hingga akhirnya tarian barongsai melegenda.

Tarian dan gerakan

Tarian Singa terdiri dari dua jenis utama yakni Singa Utara yang memiliki surai ikal dan berkaki empat. Penampilan Singa Utara kelihatan lebih natural dan mirip singa ketimbang Singa Selatan yang memiliki sisik serta jumlah kaki yang bervariasi antara dua atau empat. Kepala Singa Selatan dilengkapi dengan tanduk sehingga kadangkala mirip dengan binatang ‘Kilin’.

Gerakan antara Singa Utara dan Singa Selatan juga berbeda. Bila Singa Selatan terkenal dengan gerakan kepalanya yang keras dan melonjak-lonjak seiring dengan tabuhan gong dan tambur, gerakan Singa Utara cenderung lebih lincah dan penuh dinamika karena memiliki empat kaki.

Satu gerakan utama dari tarian Barongsai adalah gerakan singa memakan amplop berisi uang yang disebut dengan istilah ‘Lay See’. Di atas amplop tersebut biasanya ditempeli dengan sayuran selada air yang melambangkan hadiah bagi sang Singa. Proses memakan ‘Lay See’ ini berlangsung sekitar separuh bagian dari seluruh tarian Singa[2].

Barongsai di Indonesia

Kesenian barongsai diperkirakan masuk di Indonesia pada abad-17, ketika terjadi migrasi besar dari Cina Selatan[3].

Barongsai di Indonesia mengalami masa maraknya ketika zaman masih adanya perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan. Setiap perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan di berbagai daerah di Indonesia hampir dipastikan memiliki sebuah perkumpulan barongsai. Perkembangan barongsai kemudian berhenti pada tahun 1965 setelah meletusnya Gerakan 30 S/PKI. Karena situasi politik pada waktu itu, segala macam bentuk kebudayaan Tionghoa di Indonesia dibungkam. Barongsai dimusnahkan dan tidak boleh dimainkan lagi. Perubahan situasi politik yang terjadi di Indonesia setelah tahun 1998 membangkitkan kembali kesenian barongsai dan kebudayaan Tionghoa lainnya. Banyak perkumpulan barongsai kembali bermunculan. Berbeda dengan zaman dahulu, sekarang tak hanya kaum muda Tionghoa yang memainkan barongsai, tetapi banyak pula kaum muda pribumi Indonesia yang ikut serta[2].

Pada zaman pemerintahan Soeharto, barongsai sempat tidak diijinkan untuk dimainkan. Satu-satunya tempat di Indonesia yang bisa menampilkan barongsai secara besar-besaran adalah di kota Semarang, tepatnya di panggung besar kelenteng Sam Poo Kong atau dikenal juga dengan Kelenteng Gedong Batu. Setiap tahun, pada tanggal 29-30 bulan enam menurut penanggalan Tiong Hoa (Imlek), barongsai dari keenam perguruan di Semarang, dipentaskan. Keenam perguruan tersebut adalah:

  1. Sam Poo Tong, dengan seragam putih-jingga-hitam (kaos-sabuk-celana), sebagai tuan rumah
  2. Hoo Hap Hwee dengan seragam putih-hitam
  3. Djien Gie Tong (Budi Luhur) dengan seragam kuning-merah-hitam
  4. Djien Ho Tong (Dharma Hangga Taruna) dengan seragam putih-hijau
  5. Hauw Gie Hwee dengan seragam hijau-kuning-hijau kemudian digantikan Dharma Asih dengan seragam merah-kuning=merah
  6. Porsigab (Persatuan Olah Raga Silat Gabungan) dengan seragam biru-kuning-biru

Walaupun yang bermain barongsai atas nama ke-enam kelompok tersebut, tetapi bukan berarti hanya oleh orang-orang Semarang. Karena ke-enam perguruan tersebut mempunyai anak-anak cabang yang tersebar di Pulau Jawa bahkan sampai ke Lampung. Di kelenteng Gedong Batu, biasanya barongsai (atau di Semarang disebut juga dengan istilah Sam Sie) dimainkan bersama dengan Liong (naga) dan Say (kepalanya terbentuk dari perisai bulat, dan dihias menyerupai barongsai berikut ekornya).

Saat ini barongsai di Indonesia sudah dapat dimainkan secara luas, bahkan telah meraih juara pada kejuaraan di dunia. Dimulai dengan Barongsai Himpunan Bersatu Teguh (HBT) dari Padang yang meraih juara 5 pada kejuaraan dunia di genting – malaysia pada tahun 2000. Hingga kini barongsai Indonesia sudah banyak mengikuti berbagai kejuaraan-kejuaraan dunia dan meraih banyak prestasi. Sebut saja beberapa nama seperti Kong Ha Hong (KHH) – Jakarta, Dragon Phoenix (DP) – Jakarta, Satya DharmaKudus, dan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) – Tarakan. Bahkan nama terakhir, yaitu PSMTI telah meraih juara 1 pada suatu pertandingan dunia yang diadakan di Surabaya pada tahun 2006.Perguruan barongsai lainnya adalah Tri Pusaka Solo yang pada pertengahan Agustus 2007 lalu memperoleh Juara 1 President Cup.

Selain itu, kesenian barongsai juga pernah bermunculan di beberapa kota seperti Purwokerto, Magelang, Cilacap dan beberapa kota yang lain. Untuk daerah Magelang, kesenian barongsai ini muncul pertama kali dengan nama Ciu Lung WeiMagelang, TITDMagelang, Pai Se WeiMagelang dan masih banyak perkumpulan lainnya. Untuk Purwokerto ada beberapa perkumpulan kesenian barongsai yang telah terbentuk dan berjalan seperti Chin Lung DhuanPurwokerto, Lung Se TuanPurwokerto, Yi Lung DhuanPurwokerto

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa kesenian atau seni ketrampilan dalam permainan Barongsai membutuhkan keahlian khusus dan tentunya dengan latihan yang rutin dapatg menjadikan para pemain yang terlibat didalamnya menjadi mahir dan terampil. Namun disini terkadang banyak orang yang masih berpendapat bahwa bermain Barongsai bisa menjadikan sang pemain atau para pemain menjadikan kesurupan seperti halnya dalam permainan Kuda Lumping.

Dalam melakukan permainan Barongsai, dibutuhkan kejelian dan ketangkasan yang tentunya di dapat dari hasil latihan yang rutin serta tanggap dalam mengenal medan atau arena tempat bermain, dikarenakan permainan Barongsai harus dapat dilakukan di segala medan, ataupun arena, atau bahkan dilapangan dan juga di tempat yang luasnya amat minimalis.

Dalam perkembangan sekarang ini Barongsai sudah banyak jenis permainnya yang dipadukan dengan kesenian atau beladiri Wushu, dan menjadikan gerakan-gerakan yang dilakukan menjadi indah dan serasi dengan musik terdengar dari alat musik Barongsai. Itupun sebenarnya keserasian permainan juga didapat dari hasil latihan yang serius dan disiplin yang tinggi serta penngenalan tentang budaya Tionghoa pada umumnya.

FOTO TARIAN BARONGSAI.

 

WATU KAMEYA KAKASKASEN TOMOHON

Pada zaman dahulu sempat terjadi perebutan kekuasaan antara kedua penguasa gunung yakni Gunung  Lokon penguasaannya Pinontoan dan Gunung Mahawu adalah Rumengan. Perebutan kekuasaan awalnya dari perebutan seorang wanita yang bernama Katiwi Ambilingan sehungga pada waktu perebutan maka kedua belah pihak saling menyerang, Pinontoan menyerang berupa dengan bebatuan sedangkan Rumengan menyerang dengan abu dan air lumpur. Dalam pertempuran saling menyerang ini kedua-duanya tidak ada yang menang maupun kalah. Akhirnya kedua belah pihak yang bertikai saling bermusyawarah untuk menentukan batas Wilayah kekuasaan masing-masing. Maka Pinontoan dan Rumengan bertemu dan menetapkan keputusan bahwa batas atau sipat Wilayah kekuasaan masing-masing adalah di WATU KAMEYA, yang berlokasi sekarang di sebut TAINGKERE. Sebenarnya antara kedua Wilayah, dam kedua kelompok yang bertikai ini bertemu dan menentukan serta melakukan suatu sumpah bahwa bilamana kedua belah pihak melakukan penyerangan. Serangan tersebut hanya sampai di batas atau sipat yang sudah ditentukan yakni yang di namakan WATU KAMEYA yang sebenarnya adalah asal kata Tombulu Kai = kami, meye = datang .Jadi kameya hanya terjadi perubahan bahasa pada waktu pendudukan Belanda masuk Minahasa. Karena orang belanda tidak biasa menyebutkan dengan benar bahasa Tombulu.
WATU KAMEYA merupakan tempat bertemu atau datang kedua kelompok yakni antara keturunan Pinontoan dan keturunan Rumengan dan sampai sekarang mempunyai suatu bukti wilayah batas Pinontoan terdapat bebatuan yang memanjang dari arah selatang ke utara, dan wilayah batas Rumengan  hanya terdapat tanahan asal dari abu dan lumpur tadi.
Batas atau sipat kedua tadi biasa di lihat Watu Kameya. Batas ini sudah menjadi sebuah kali atau sungai selain dibatasi dengan pagar bebatuan memanjang dan tanah tebing. Pada waktu terjadi penyerangan inilah sehingga di batas wilayah ini mengeluarkan banyak sumber mata air akibat batu-batuan yang di serang membongkar tanah yang ada di batas tersebut. Dan mata air yang keluar didatangi oleh penguasa Gunung Lokon yakni Pinontoan  dalam bahasa Tombulu = Kameya untuk memanfaatkan air ini untuk tujuan-tujuan tertentu  selain untuk keperluan hidup sehari-hari. Selain itu pula tempat ini merupakan tempat ritual para keturunan Pinontoan. Sejak mulanya mata air terbuka, dan air ini benar-benar jernih serta sumbernya sangat banyak dan tersebar di wilayah kinaskas. Mata air yang keluar adalah sepanjang bebatuan tepatnya di bawah bebatuan itu , sampai saat sekarang kita biasa melihatnya. Mata air di sini sampai sekarang kebanyakan orang kakaskasen masih bergantung pada air tersebut baik untuk air minum maupun mandi. Di WATU KAMEYA inilah di namakan KEBUN TAINGKERE yang artinya air yang tercampur dengan warna kekuningan. Karena kelompok keturunan Pinontoan merupakan kelompok pengrajin batu. Jadi memang benar pada Zaman dahulu keturunan atau kelompok  Pinontoan adalah orang-orang pengrajin batu.  Di sepanjang WATU KAIMEYA tidak jauh terdapat pula WATU WULU karena pada zaman itu di WATU WULU banyak terdapat WATU KAMEYA. Seperti sarang. Demikian juga di WATU KAMEYA terdapat batu berbentuk Waruga dan penutup waruga merupakan inspirasi atau contoh sebelum pembuatan waruga-waruga saat itu. Di WATU KAMEYA banyak terdapat batu-batu yang berbentuk berupa BATU TUMOTOWA . di samping batu kameya terdapat pula batu dari Dotu Cina yang berbentuk kura-kura lagi menjunjung manusia. Di zaman itu pula di tempat ini sering diadakan atau perundingan-perundingan. Dan pada waktu masuknya diwilayah ini pengrajin batu orang keturunan Bantik maka tempat ini merupakan tempat berkumpur dan bersaru para  Leluhur  untuk melawan orang-orang bantik. Makanya tidak jauh dari tempat ini terdapat daerah-daerah yang dilakukan untuk pembantaian orang bantik, seperti Rano Lewo, Talumengan sampai yang namanya kumentur terpatnya yang bernama Tihis Wuntu bersebelahan dengan kampung tua  Nawanua berdekatan dengan 3 batu bakumangada yang disebut WATU PAHSARUAN. Jadi setelah masuknya orang-orang dari bantik maka kedua kelompok yang bertikai antara keturunan Pinontoan dan keturunan Rumengan berkumpul dan bersatu di WATU KAMEYA yang juga adalah batas atau sipat. Di WATU KAIMEYA inilah yang merupakan tempat bersejarah paling penting . selain untuk tempat pertemuan ritual-ritual budaya maupun tempat berkumpul antara kedua kelompok tadi yang bertikai akhirnya bersatu dan mengusir orang-orang Bantik yang sudah masuk di wilayah khususnya kinaskas. Ditempat ini pula sampai sekarang merupakan tempat ritual para tonaas-tonaas atau tua-tua kampung secara turun-temurun baik untuk mengenang sejarah tempat ini maupun untuk kepentingan-kepentingan adat. Dan sampai saat bila terjadi letusan baik Gunung Lokon maupun Mahawu hasil letusan tidak ada yang melewati batas atau sipat yang sudah  disepakati dan si sumpahkan dalam pertemuan ini.
Demikian sekilas sejarah adanya WATU KAMEYA KINASKAS dan juga mata airnya, lokasi ini berada di bawah kaki lereng gunung lokon tepatnya yang dinamakan kebun taingkere jalan menuju lokasi galian batu kelurahan kakaskasen 1 kecamatan Tomohon utara.