Pengucapan syukur! Sebuah Fenomena Tou Minahasa

Tradisi perayaan “Pengucapan Syukur” sudah seutuhnya jadi fenomena kultural dari masyarakat Minahasa. Hampir semua komunitas etnis di nusantara ini, bahkan di seluruh dunia, memang masih dikenal tradisi sejenis, namun nyaris tak ada yang sama dengan yang di Minahasa dalam hal pengutamaannya, yang antara lain ditandai baku ambor abis-abisan. Dan intensitas dalam segi kesemarakan yang ditandai pesta-pora konsumsi makanan — yang dengan demikian bicara mengenai expenditas keuangan — ini berjalan selaras, dan didorong oleh, intensitas emosi yang dibutuhkan. Itulah mengapa orang-orang Minahasa yang sudah hidup jauh di rantau senantiasa menjadikan momentum Pengucapan Syukur sebagai salahsatu titik alamat kerinduan yang khas. Yang tidak dapat tergantikan oleh konsumsi hiburan lain seramai apapun, semodern apapun, di manapun.
Perayaan Thanks Giving di Amerika, misalnya. Itu jauh berbeda. Baik ideologinya, maupun dan terlebih kadar kegairahan mereka yang melakoninya. Kendati pun untuk Thanks Giving ada upaya politis yang besar dari penyelenggara negara adidaya tersebut demi menggalang nasionalisme, dengan cara melestarikan tradisi dari Zaman Pionir itu.

Pengucapan Syukur adalah seutuhnya fenomena kita. Dan itu sangat kentara dan khas bila ditampak oleh orang-orang dari luar lingkaran budaya kita. Dan yang tampak di permukaan itu hanyalah: bahwa orang Minahasa gandrung pesta, hyper-consumptive, suka hura-hura, boros. Tetapi isi sejatinya tidak demikian, tidak melulu senegatif itu. Dan yang penting digarisbawahi, menghilangkan apa yang dianggap negatif itu sama dengan menghancurkan keutuhan manusia-budaya tou Minahasa, dengan segala akibatnya!

Syukur, Kamberu Oweiiy…!
Upacara ataupun pesta pengucapan syukur ada dalam budaya semua komunitas primordial. Itu tumbuh dalam budaya agraris. Dimana manusia memperoleh sumber penghidupan langsung dari alam. Sehingga rasa syukurnya langsung diarahkan pada Sang Pencipta dan Pemelihara Alam Raya ini. Di zaman dahulu itu belum tumbuh pola pikir bahwa penghidupan manusia diperoleh melalui belajar di sekolah setingginya, meraih prestasi karir dengan usaha sendiri, dan belum bisa membeli makanan apa saja yang diimport dari negara mana saja dengan uang yang diambil dari ATM dimana setiap pemegang rekening berdaulat penuh melalui nomor PIN yang dirahasiakannya secara pribadi. Sebaliknya, bahkan benih padi dan cengkih yang ditanam oleh tangan kita sendiri pun masih sangat bergantung pada iklim serta cuaca yang siklus musimnya diatur oleh Opo Wananatas, Empung Kasuruan Wangko.

Tradisi upacara mensyukuri panen di Minahasa dapat dipastikan sudah setua masyarakat yang mendiami jazirah utara Sulawesi ini, apalagi bila diingat bahwa komunitas yang “dirintis Toar dan Lumimuut” ini datang dari lingkaran budaya yang sudah memiliki sistem religiositasnya.
Evolusi maengket sebagai ekspresi etis-estetis leluhur Minahasa, sedari mapurengkey, bahkan bentuk-bentuk sebelumnya, menjadikan upacara syukur panen sebagai salahsatu yang utama. Ini kelak terabadikan, setelah maengket dikonservasikan, pada babak Kamberu. Dari kata kan weru, makanan yang baru dipanen.

Masuknya Kristen di Minahasa tidak memberangus tradisi syukur panen, sebagaimana pemberangusan yang dilakukan atas sejumlah tradisi dan artefak budaya lainnya dari warisan leluhur Minahasa. Sebab tradisi yang sama ada dalam budaya orang Yahudi sebagaimana tercantum dalam Alkitab. Jadi malah dianggap menuruti Firman Tuhan.

Sebutan “Pengucapan Syukur” jelas baru muncul paling cepat pada abad XIX. Walau bahasa Melayu sudah mulai meluas di Indonesia Timur sejak lebih dua abad sebelumnya. Kata syukur berasal dari bahasa Arab, namun jemaat Kristen tak asing dengan itu sebab penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Melayu sudah lama membiasakan dengan bahasa Arab yang akrab dengan mayoritas penduduk nusantara, dan sekaligus karena bahasa tersebut seakar dengan bahasa asli Perjanjian Lama (Ibrani, Aram).

Syukur, Non-Economic-Animal
Rasa syukur selalu padan dengan hasil yang diperoleh. Maka tak heran ketika boom cengkih di Minahasa, tahun 1970-an, Pengucapan Syukur pun jadi amat mewah. Bahkan menuju pesta-pora hedonisme. Di tepi jalan orang meletakkan (selain nasi jaha) sangat banyak bir dan minuman mahal lainnya, bebas buat diminum atau diambil oleh siapapun yang lewat, bahkan buat dipakai mandi oleh mereka yang sudah mabuk!

Tak ayal, para tokoh masyarakat yang kritis, yang merasa amat cemas dengan praktik pemborosan luarbiasa itu, segera mengarahkan Pengucapan Syukur untuk hanya dipusatkan di gereja. Dan ungkapan syukur berupa pengeluaran uang untuk konsumsi besar itu diarahkan buat disumbangkan saja langsung ke kas gereja. Pimpinan gereja dan bahkan pemerintah mewujudkan anjuran tersebut. Sempat berlaku beberapa tahun. Tapi arahan yang berlawanan arah dengan kultur tou Minahasa itu kemudian berlalu begitu saja.

Bagaimanapun arahan pada yang baik tentu ada manfaatnya. Misalnya dulu setiap acara pengucapan Syukur ditandai dengan penjualan produk hasil bumi dengan cara lelang di gereja. Tapi itu lantas dihapus, menaati ayat teguran Yesus agar jangan berjual-beli di Bait Allah. Upaya lain untuk mengurangi biaya yaitu pelaksanaan yang dilakukan serempak di semua wilayah dalam tanggal yang sama. Pendek kata sudah macam-macam modifikasi yang dinilai terbaik.

Tapi satu yang tak berubah: nasi jaha. Penganan khas ini telah jadi simbol Pengucapan Syukur di Minahasa. Tamu bukan saja disuguhi segala makanan yang di antaranya harus ada nasi jaha, tapi pula diberi ole-ole nasi jaha. Sehingga, meski nasi jaha sekarang sudah bisa kita dapatkan setiap hari sampai di warung-warung makanan, namun orang yang pergi merayakan Pengucapan Syukur di kampung sanak dan kerabatnya pasti akan merasa komplit kalau membawa pulang meski hanya 1 buluh nasi jaha.

Besarnya angka pembiayaan dalam Pengucapan Syukur — yang biasanya hanya disebut singkat “Pengucapan” saja — sesungguhnya berkorelasi dengan rasa perkauman, nilai budaya yang menyatu dengan jati diri, dan bahkan iman. Dan semua yang disebut terakhir itu menjadi bagian dari sistem produksi ekonomi tou Minahasa. Sehingga apa yang dihitung sebagai “pemborosan” itu tidak serta-merta berarti kontra-produktif. Karena salahsatu yang khas dari nilai budaya Minahasa adalah paripurna. Keutuhan dari semua dimensi. Di luar soal kenyataannya sering tidak begitu. Tetapi kecenderungan itu selalu ada, bersifat alamiah. Dan itu jelas jauh lebih baik dibanding manusia yang hanya satu dimensi, misalnya hanya dimensi ekonomi, sehingga menjadi economic animal — yang berbahaya bagi masyarakat maupun dirinya sendiri. Jadi, syukurlah karena ada “Pengucapan”. Taintu!

Makanan tradisi pengucapan syukur:

Pengucapan Syukur – Lezatnya Nasi Jaha & Dodol

Pengucapan syukur. Pengucapan syukur merupakan tradisi masyarakat Minahasa yang mengucap syukur atas segala berkat yang telah Tuhan berikan. Biasanya pengucapan syukur dilaksanakan setelah panen dan dikaitkan dengan acara keagamaan untuk mensyukuri berkat Tuhan yang dirasakan terlebih panen yang dinikmati. Acara pengucapan syukur ini dilaksanakan setiap tahun oleh masyarakat suku Minahasa pada hari Minggu umumnya antara bulan Juni hingga Agustus. Saat pengucapan syukur hampir setiap keluarga menyediakan makanan untuk para tamu yang akan datang berkunjung apa terlebih makanan khas seperti nasi jaha dan dodol.

Pengucapan syukur adalah tradisi dan pesta warga Minahasa. Seperti setelah selesai panen, entah padi ataupun cengkeh. Kedua hasil pertanian inilah yang menjadi tolak ukur suatu daerah untuk menggelar Pengucapan Syukur. Menariknya, tak tanggung-tanggung semua desa di tanah Minahasa menggelar pesta Pengucapan Syukur tersebut. Namun demikian, untuk merayakannya, dipastikan banyak pengeluaran uang dalam rangka pesta orang Minahasa ini.

Hanya saja, karena ini sudah membudaya. Maka, harus diakui kalau pesta ini harus ditopang dengan kebudayaan dan menjadi kalender pariwisata. Memang diakui, bahwa PS ini tak lain hanya berfoya-foya. Namun pula, ini sudah membudaya warga Minahasa secara umum. Jadi, tak pelak kalau Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Minsel jangan tutup mata dengan hal diatas,’’ Menjadi kebiasaan lain, menjelang PS para ibu-ibu (IRT) yang ada ternyata doyan menghabiskan uang di pasar. Apa pasal, seperti membeli apa saja yang mereka inginkan. Padahal, selain menyediakan penganan khas PS yaitu kue dodol dan nasi jahe. Itu sudah cukup, selain makanan ringan yang akan disajikan keluarga untuk menyambut keluarga dan sanak saudara serta rekan dan teman untuk mencicipinya.

 

Kamis Putih

Kamis Putih adalah hari Kamis sebelum Paskah, pada Hari Raya Pekan Suci ini umat Kristen mempunyai tradisi memperingati Perjamuan malam terakhir yang dipimpin oleh Yesus.Hari ini adalah salah satu hari terpenting dalam kalender Gereja. Ini adalah hari pertama dari hari raya Paskah, yang dimulai pada pukul 6 sore, dan berlangsung 7 hari. Hari Kamis Putih ini juga disebut Kamis Suci.(bahasa Inggris: Holy Thursday)

Ritual Perjamuan Malam setelah ini pada setiap misa atau kebaktian diperingati sebagai perayaan Ekaristi atau Perjamuan Kudus. Pada misa malam ini, pastur juga mencuci kaki umat sebagai peringatan Yesus yang mencuci kaki para muridnya dalam perjamuan terakhir, pelayanan Yesus di dunia sebelum kematian-Nya.

*KAMIS PUTIH – MAKNA DAN AKAR TRADISI

Makna

  • Bagian dari Triduum sacrum.  ”Perayaan kenangan” Perjamuan Malam Terakhir.
  • Saat Kristus menginstitusikan Sakramen Ekaristi dan Sakramen Imamat.
  • Saat ajaran cinta kasih ditegaskan kembali sebagai wasiat agung —-> suatu mandatum.
  • Allah mencuci kaki manusia; Allah mengilahikan manusia; Allah yang menghampakan diri.

Liturgi  Dirayakan petang hari.

  • Hanya satu kali Misa saja. Dengan alasan yang masuk akal dan ijin uskup bisa dilaksanakan malam hari atau pagi hari.
  • Setelah Gloria, bel dan lonceng (benda-benda yang tebut dari metal) tidak lagi dibunyikan sampai paskah.
  • Homili harus mengenai misteri Ekaristi dan mengenai hakekat Imamat dan ajaran cinta kasih.  Pencucian kaki 12 rasul.
  • Ada prosesi Sakramen Maha Kudus dalam sibori (boleh juga dengan monstran).
  • Tabernakel dikosongkan, dipindahkan pada tempat khusus untuk tuguran sampai tengah malam saja.
  •  Tuguran bukan berarti menunggu kuburan mayat Yesus, Yesus  baru mati besoknya. Tuguran bermakna doa dan berjaga bersama Yesus di Bukit Zaitun.
  • Altar dikosongkan.  Patung-patung, gambar-gambar, ikon-ikon dan relief-relief ditutup dengan kain warna merah atau ungu. Tidak salah bila sudah ditutup pada hari Sabtu sebelum hari Minggu ke-5. Lampu-lampu atau lilin yang ada disekitar patung itu dimatikan.

Akar Tradisi

  • dalam abda ke-4 di Gereja Barat, kecuali di Roma, praktek mencuci kaki dilakukan pada ritus pembaptisan. Kemudian lenyap. Muncul kembali di biara-biara sebagai bentuk saling melayani dan saling mengabdi dan demi persaudaraan dalam komunitas.
  • Tahun 694 Konsili Toledo mewajibkan praktek cuci kaki ini di seluruh Gereja Spanyol. Uskup dan imam harus melakukannya seperti Yesus Kristus melakukannya. (Ingat Uskup dan imam pada waktu itu adalah pribadi-pribadi yang “untouchable”.)  Sejak abad ke-12 Gereja Roma mulai memberlakukannya.  Misale Pius V tahun 1570 menemptakan ritus cuci kaki ini pada akhir misa.
  • Tahun 1955 aturan Pekan Suci menempatkannya setelah Injil dan homili. Ritus ini hanya wajib dilakukn di Katedral-katedral saja.  Missale 1970 meneruskan praktek tersebut, bahkan diberlakukan untuk setiap gereja paroki.

*Lambang & Makna di Balik Perayaan TRI HARI SUCI PASKAH

Menjelang Tri Hari Suci Paskah (Kamis Putih, Jumat Agung dan Sabtu Vigili-Minggu Paskah Kebangkitan Tuhan), ada baiknya kita mengetahui berbagai lambang/simbol/tanda yang dipergunakan dalam perayaan-perayaan Tri Hari Suci untuk menyegarkan iman dan membantu kita untuk lebih menghayati makna Paskah yang sebenarnya.

Dalam perayaan Tri Hari Suci Paskah dipergunakan aneka lambang yang menggambarkan inti iman kristiani yaitu keselamatan manusia melalui karya penebusan Yesus di salib serta pembaharuan hidup manusia melalui kebangkitan mulia Tuhan Yesus Kristus, semua dilandasi hukum cinta kasih yang diajarkan oleh Tuhan kita Yesus Kristus.

Kamis Putih dirayakan untuk memperingati Perjamuan Tuhan di malam terakhir sebelum sengsaraNya serta pendirian/institusi Sakramen Ekaristi, saat dimana Yesus mempersembahkan Tubuh dan Darah-Nya sendiri dalam rupa roti dan anggur yang diberikan-Nya kepada para murid-Nya serta pemberian perintah/hukum cinta kasih. Dalam perjamuan makan malam terakhir inilah salah satu murid Yesus yaitu Yudas Iskariot pengkhianatiNYA dengan menyerahkan Yesus ke para serdadu untuk diserahkan ke Pengadilan dan akhirnya di Salib.

Dalam perayaan Kamis Putih di Gereja saat ini ada berbagai macam prosesi yang mengandung arti yang perlu kita tahu:

  • Pembasuhan kaki (Mandatum), melambangkan cinta kasih dan pelayanan total Yesus Kristus kepada para muridNya. Ia yang adalah Allah rela merendahkan diri menjadi manusia dan demi cinta kasihNya yang total kepada manusia Ia berkenan menunjukkan ketotalan cinta dan pelayanan itu dengan merendahkan diri menjadi pembasuh kaki para muridNya, yang biasanya dilakukan oleh para budak.
  • Perarakan Sakramen Mahakudus, melambangkan perjalanan Yesus dari tempat perjamuan malam terakhir ke Taman Getsemani. Dalam perarakan di hari Kamis Putih, Sakramen Mahakudus diletakkan dalam sibori (bukan monstrans!), melambangkan Yesus dalam kesederhanaan, ketakutan dan kesedihan hendak berdoa kepada BapaNya. Perarakan Sakramen Mahakudus ini diiringi lagu Tantum Ergo dan diselingi penyembahan-penyembahan (berlutut) oleh umat yang ditandai bunyi (klothokan) kayu tanda kesedihan (bukan suara logam atau lonceng yang menandakan kemeriahan).
  • Perlucutan altar, Disini segala hiasan yang ada di altar akan dilucuti dan disingkirkan, meninggalkan altar yang polos tanpa hiasan apapun dan tabernakel yang terbuka. Ini melambangkan Gereja (kita semua) yang mulai masuk dalam suasana hati berduka dan dalam kesedihan mendalam. Perlucutan altar juga hendak mengungkapkan dan mengenangkan Yesus yang masuk dalam penderitaan dan kesengsaraan, segala kemuliaan yang ada padaNya diambil dan yang nampak ‘hanyalah’ Anak Manusia yang Sengsara.
  • Tuguran atau Tirakatan, ialah saat Sakramen Mahakudus telah diletakkan di altar persinggahan, dan umat bersembah sujud, berdoa, dan merenung di depan Sakramen Mahakudus. Ini melambangkan Yesus yang dalam ketakutan dan kegentaran berdoa kepada Bapa di Taman Getsemani. Di taman itu Yesus berpesan kepada para muridNya: “Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan Aku” (Mat 26:38). Juga SabdaNya: “Tidakkah kamu sanggup berjaga-jaga satu jam dengan Aku? Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan” (Mat 26:40b-41). Umat melaksanakan Tuguran / berjaga-jaga sambil berdoa baik secara pribadi maupun dalam kelompok, entah secara bersama atau bergantian.

*Foto-foto Untuk Kamis putih

Minggu Palma

Minggu Palma adalah hari raya Kristen yang selalu jatuh pada hari Minggu sebelum Paskah. Perayaan ini ada pada empat Injil, yaitu Markus 11:1-11, Matius 21:1-11, Lukas 19:28-44 dan Yohanes 12:12-19. Perayaan ini merupakan perayaan masuknya Yesus ke kota Yerusalem sebelum ia disalibkan.[1] Masuknya Yesus ke kota suci atau Yerusalem adalah hal yang istimewa, sebab terjadinya sebelum Yesus mati dan bangkit dari kematian. Itulah sebabnya Minggu Palma disebut pembuka pekan suci, yang berfokus pada pekan terakhir Yesus di kota Yerusalem.[1] Dalam liturgi Minggu Palem, umat dibagikan daun palem dan ruang gereja dipenuhi ornamen palem.

Simbol Palem dalam Minggu Palma

Daun palem adalah simbol dari kemenangan. Daun palem ini membawa arti ke arah simbol Kristen.[2] Daun palem digunakan untuk menyatakan kemenangan martir atas kematian. Martir sering digambarkan dengan daun pelem di antara tempat atau tambahan untuk instrumen dari kesyahidan.[2] Kristus kerap kali menunjukkan hubungan daun palem sebagai simbol kemenangan atas dosa dan kematian. Lebih jelas lagi, hal itu diasosiasikan dengan kejayaan-Nya memasuki Yerusalem, ( Yohanes 12:12-13).[2]

Daun palem memiliki warna hijau, hijau adalah warna dari tumbuh-tumbuhan dan musim semi. Oleh karena itu simbol kemenangan dari musim semi diatas musim salju atau kehidupan di atas kematian, menjadi sebuah campuran dari kuning dan biru itu juga melambangkan amal dan registrasi dari pekerjaan jiwa yang baik.[2]

Saat Minggu Palma, umat melambai-lambaikan daun palem sambil bernyanyi.[2] Hal ini menyatakan keikutsertaan umat bersama Yesus dalam arak-arakan menuju Yerusalem.[2] Ini menyatakan tujuan yang akan dicapai pada masa yang akan datang: kota Allah, di mana ada kedamaian. [3]

Foto minggu palma.

 

 

Apa itu Rabu Abu?

Mungkin di antara kita banyak yang belum tahu tentang Kebaktian/Misa/Ibadah Rabu Abu? Kita perlu juga mengetahui apa itu Rabu Abu? Artikel berikut ini yang dikompilasi dari beberapa sumber memberikan informasi kepada kita yang ingin mengetahui apa itu Rabu Abu?

Dalam agama Kristen tradisi barat (termasuk Katolik Roma dan Protestanisme), Rabu Abu adalah hari pertama masa Pra-Paska. Ini terjadi pada hari Rabu, 40 hari sebelum Paskah tanpa menghitung hari-hari Minggu atau 44 hari (termasuk Minggu) sebelum hari Jumat Agung.

 

Pada hari ini umat yang datang ke Gereja dahinya diberi tanda salib dari abu sebagai simbol upacara ini. Simbol ini mengingatkan umat akan ritual Israel kuna di mana seseorang menabur abu di atas kepalanya atau di seluruh tubuhnya sebagai tanda kesedihan, penyesalan dan pertobatan (misalnya seperti dalam Kitab Ester 4:1, 3). Dalam Mazmur 102:10 penyesalan juga digambarkan dengan “memakan abu”: “Sebab aku makan abu seperti roti, dan mencampur minumanku dengan tangisan.” Biasanya pemberian tanda tersebut disertai dengan ucapan, “Bertobatlah dan percayalah pada Injil.”

Seringkali pada hari ini bacaan di Gereja diambil dari Alkitab, kitab II Samuel 11-12, perihal raja Daud yang berzinah dan bertobat.

Banyak orang Katolik menganggap hari Rabu Abu sebagai hari untuk mengingat kefanaan seseorang. Pada hari ini umat Katolik berusia 18–59 tahun diwajibkan berpuasa, dengan batasan makan kenyang paling banyak satu kali, dan berpantang.

Rabu Abu jatuh pada tanggal-tanggal berikut di tahun-tahun mendatang:

(Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Rabu_Abu).

 

Asal Mula Perayaan dan Penggunaan Abu

Penggunaan abu dalam liturgi berasal dari jaman Perjanjian Lama. Abu melambangkan perkabungan, ketidakabadian, dan sesal/tobat. Sebagai contoh, dalam Buku Ester, Mordekhai mengenakan kain kabung dan abu ketika ia mendengar perintah Raja Ahasyweros (485-464 SM) dari Persia untuk membunuh semua orang Yahudi dalam kerajaan Persia (Est 4:1). Ayub (yang kisahnya ditulis antara abad ketujuh dan abad kelima SM) menyatakan sesalnya dengan duduk dalam debu dan abu (Ayb 42:6). Dalam nubuatnya tentang penawanan Yerusalem ke Babel, Daniel (sekitar 550 SM) menulis, “Lalu aku mengarahkan mukaku kepada Tuhan Allah untuk berdoa dan bermohon, sambil berpuasa dan mengenakan kain kabung serta abu.” (Dan 9:3). Dalam abad kelima SM, sesudah Yunus menyerukan agar orang berbalik kepada Tuhan dan bertobat, kota Niniwe memaklumkan puasa dan mengenakan kain kabung, dan raja menyelubungi diri dengan kain kabung lalu duduk di atas abu (Yun 3:5-6). Contoh-contoh dari Perjanjian Lama di atas merupakan bukti atas praktek penggunaan abu dan pengertian umum akan makna yang dilambangkannya.

Yesus Sendiri juga menyinggung soal penggunaan abu: kepada kota-kota yang menolak untuk bertobat dari dosa-dosa mereka meskipun mereka telah menyaksikan mukjizat-mukjizat dan mendengar kabar gembira, Kristus berkata, “Seandainya mukjizat-mukjizat yang telah terjadi di tengah-tengahmu terjadi di Tirus dan Sidon, maka sudah lama orang-orang di situ bertobat dengan memakai pakaian kabung dan abu.” (Mat 11:21) [ayat dikutip dari Kitab Suci Komunitas Kristiani, Edisi Pastoral Katolik]

Gereja Perdana mewariskan penggunaan abu untuk alasan simbolik yang sama. Dalam bukunya “De Poenitentia”, Tertulianus (sekitar 160-220) menulis bahwa pendosa yang bertobat haruslah “hidup tanpa bersenang-senang dengan mengenakan kain kabung dan abu.” Eusebius (260-340), sejarahwan Gereja perdana yang terkenal, menceritakan dalam bukunya “Sejarah Gereja” bagaimana seorang murtad bernama Natalis datang kepada Paus Zephyrinus dengan mengenakan kain kabung dan abu untuk memohon pengampunan. Juga, dalam masa yang sama, bagi mereka yang diwajibkan untuk menyatakan tobat di hadapan umum, imam akan mengenakan abu ke kepala mereka setelah pengakuan.

Dalam abad pertengahan (setidak-tidaknya abad VIII), mereka yang menghadapi ajal dibaringkan di tanah di atas kain kabung dan diperciki abu. Imam akan memberkati orang yang menjelang ajal tersebut dengan air suci, sambil mengatakan “Ingat engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu.” Setelah memercikkan air suci, imam bertanya, “Puaskah engkau dengan kain kabung dan abu sebagai pernyataan tobatmu di hadapan Tuhan pada hari penghakiman?” Yang mana akan dijawab orang tersebut dengan, “Saya puas.” Dalam contoh-contoh di atas, tampak jelas makna abu sebagai lambang perkabungan, ketidakabadian, dan tobat.

Akhirnya, abu dipergunakan untuk menandai permulaan Masa Prapaska, yaitu masa persiapan selama 40 hari (tidak termasuk hari Minggu) menyambut Paska. Ritual perayaan “Rabu Abu” ditemukan dalam edisi awal Gregorian Sacramentary yang diterbitkan sekitar abad VIII. Sekitar tahun 1000, seorang imam Anglo-Saxon bernama Aelfric menyampaikan khotbahnya, “Kita membaca dalam kitab-kitab, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, bahwa mereka yang menyesali dosa-dosanya menaburi diri dengan abu serta membalut tubuh mereka dengan kain kabung. Sekarang, marilah kita melakukannya sedikit pada awal Masa Prapaska kita, kita menaburkan abu di kepala kita sebagai tanda bahwa kita wajib menyesali dosa-dosa kita terutama selama Masa Prapaska.” Setidak-tidaknya sejak abad pertengahan, Gereja telah mempergunakan abu untuk menandai permulaan masa tobat Prapaska, kita ingat akan ketidakabadian kita dan menyesali dosa-dosa kita.

Dalam liturgi kita sekarang, dalam perayaan Rabu Abu, kita mempergunakan abu yang berasal dari daun-daun palma yang telah diberkati pada perayaan Minggu Palma tahun sebelumnya yang telah dibakar. Imam memberkati abu dan mengenakannya pada dahi umat beriman dengan membuat tanda salib dan berkata, “Ingat, engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu,” atau “Bertobatlah dan percayalah kepada Injil.” Sementara kita memasuki Masa Prapaska yang kudus ini guna menyambut Paska, patutlah kita ingat akan makna abu yang telah kita terima: kita menyesali dosa dan melakukan silih bagi dosa-dosa kita. Kita mengarahkan hati kepada Kristus, yang sengsara, mati, dan bangkit demi keselamatan kita. Kita memperbaharui janji-janji yang kita ucapkan dalam pembaptisan, yaitu ketika kita mati atas hidup kita yang lama dan bangkit kembali dalam hidup yang baru bersama Kristus. Dan yang terakhir, kita menyadari bahwa kerajaan dunia ini segera berlalu, kita berjuang untuk hidup dalam kerajaan Allah sekarang ini serta merindukan kepenuhannya di surga kelak. Pada intinya, kita mati bagi diri kita sendiri, dan bangkit kembali dalam hidup yang baru dalam Kristus.

Sementara kita mencamkan makna abu ini dan berjuang untuk menghayatinya terutama sepanjang Masa Prapaska, patutlah kita mempersilakan Roh Kudus untuk menggerakkan kita dalam karya dan amal belas kasihan terhadap sesama.

Dalam Masa Prapaskah ini, tindakan belas kasihan yang tulus, yang dinyatakan kepada mereka yang berkekurangan, haruslah menjadi bagian dari silih kita, tobat kita, dan pembaharuan hidup kita, karena tindakan-tindakan belas kasihan semacam itu mencerminkan kesetiakawanan dan keadilan yang teramat penting bagi datangnya Kerajaan Allah di dunia ini.